#5

5K 244 0
                                    

Ke esokan harinya....

Jam telah menunjukkan pukul 23.30 malam, tapi kenapa bang Arkan belum juga kembali?

Aku berdiri di balkon kamarku, berharap mobil Mercedes milik bang Arkan memasuki teras rumah.

Berulang kali aku mencoba menghubungi nomor ponselnya, namun hasilnya tetap saja sama, tidak ada jawaban.

"Ya Allah bang Arkan kemana sih" gumamku cemas.

Jalan mulai sepi, kini sudah tak ada lagi mobil yang berlalu lalang.

Aku mengedarkan pandangan ku ke setiap sudut jalan, tidak ada tanda-tanda bang Arkan kembali.

Aku segera masuk dan turun dari kamarku untuk menemui Bi Inah.

"Bi" panggilku

"Iya non" sahut Bi Inah yang ternyata belum tidur.

"Ada kabar dari bang Arkan?"

"Belum non, memangnya den Arkan gak bilang kalo mau kemana?"

"Astagfirullah bang Arkan di mana ya" aku semakin cemas, fikiran ku kini telah di penuhi dengan hal-hal negatif.

" Yaudah non yang tenang ya, den Arkan pasti pulang kok"

"Tapi Bi....." Ucapan ku terputus saat dering handphone ku berbunyi.

Aku segera menggeser tombol hijau saat melihat nama yang tertera di layar ponselku.

"Assalammualaikum bang Arkan di mana? Kok jam segini Abang belum pulang? Abang ada di mana sekarang? Abang masih lama pulangnya?" Entah kenapa aku tidak bisa lagi mengontrol emosi, mungkin karena aku terlalu cemas.

"..........................."

Aku sedikit menjauhkan ponselku dari telinga.

Kok bukan suara bang Arkan ? Dia siapa? Batinku.

"Iya benar, dengan siapa saya berbicara?"

"......................."

Seketika tubuhku terasa begitu lemas, jantungku seakan berhenti berdetak,pandangan ku seakan kabur, semua terasa gelap.

***

Kini aku berada dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan aku selalu menangisi bang Arkan.

"Ya Allah bang Arkan, kenapa bang Arkan bisa kaya gini? Bang Arkan dari mana sampe bisa kaya gini" aku merancu tak karuan.
Isakkan ku semakin menjadi.

Jujur saja saat ini aku sangat tidak fokus menyetir, fikiran ku melayang memikirkan kondisi bang Arkan.

Ya Allah semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar, aku yakin bang Arkan pasti baik-baik aja, pasti suster itu salah,dia bukan bang Arkan.

Setelah sampai di parkiran, secepat kilat aku memarkir kan mobil Alphard putih milikku.

Aku segera bergegas turun dan mencari ruang ICU tempat dimana bang Arkan di rawat.

Setelah aku menemukan ruangan itu aku segera membuka pintu dan melangkah masuk.

Langkahku terhenti, tubuhku terasa begitu lemas, dadaku sesak, ruangan ini seakan menyempit, mataku terfokus pada sosok pria yang kini tengah terbaring di atas kasur dengan kondisi yang amat mengenaskan.

Semua tubuhnya di penuhi dengan alat medis, nafasnya di bantu dengan oksigen, ada perban yang melilit di kepalanya, luka lebam di pipinya... Ya Allah bang Arkan.

Seketika tangisku pecah, dengan tertatih aku mendekati bang Arkan.
Mencoba memastikan bahwa yang aku lihat sekarang benar adanya.

"Bang Arkan?" Panggil ku saat aku telah berada di samping bang Arkan.

"Bang ini Husna, Abang bangun" ku elus lengannya lembut, aku berharap mata yang selalu terlihat teduh akan terbuka.

Tapi aku salah mata itu terus saja terpejam.

Ku edarkan pandanganku keseluruhan tubuh bang Arkan.

Sungguh kakiku tidak kuat lagi untuk menopang berat badanku, tenagaku hilang entah kemana.

Ya Allah aku mohon jangan ambil bang Arkan dari ku, aku belum siap jika aku harus kehilangannya, hanya bang Arkan satu-satunya yang aku punya saat ini ya Allah.

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang