17

3.6K 178 5
                                    

Author POV

Hadi tak tahu lagi harus berbuat apa sekarang, bayangan tentang Husna selalu saja memenuhi pelupuk matanya.

Hadi tahu dia telah salah, mencintai seseorang yang sepatutnya belum pantas ia cintai.
Tapi dia juga tak dapat memungkiri bahwa dia telah jatuh hati pada si gadis cantik nan baik hati itu.

Sudah hampir satu bulan lamanya Husna tak kunjung memberikan jawaban atas lamarannya. Apa mungkin waktu satu bulan belum cukup untuk Husna berfikir? Entahlah Hadi pun tak mengetahui pasti.

Di liriknya jam tangan yang melingkar gagah di pergelangan tangan kirinya.

16.30 WIB

"Bukankah jam segini biasanya dia pulang"  batin Hadi.

1

2

3

Menit dia berfikir,sambil mengetuk-ngetukan jari di meja kerja kebanggaannya.

Tanpa berfikir lama lagi, Hadi langsung saja beranjak dari kursi, tak lupa dia mengambil kunci mobil serta sebuah kotak kecil berwarna biru langit yang ia simpan di laci mejanya.

***

Di tempat lain, Husna tengah duduk santai di sofa ruang keluarga miliknya.

Tak ada yang tahu apa yang sedang dia lakukan, sebab sedari tadi dia hanya menatap kosong  televisi layar datar milik keluarga ini.

"Dek" suara itu sontak membuat Husna kembali kealam sadarnya.

"Hmmmm" hanya itu yang keluar dari mulut si cantik Husna.

"Kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya Arkan yang kini telah duduk di samping Husna.

Husna menarik nafas panjang sebelum dia berkata "iya".

Dengan satu kata tersebut membuat Arkan semakin pasrah dan tak bisa lagi membujuk adik satu-satunya ini.

Arkan tak bisa berbuat banyak hal jika Husna telah memutuskan sesuatu, pasalnya dia tahu betul bagaimana sifat adiknya ini.

"Jadi kapan kamu akan mengurusnya?" Tanya Arkan yang makin menghapus jarak antara dia dengan sang adik.

Entahlah Husna juga tak tahu kapan dia harus mengurus semuanya.
Mulutnya masih diam membisu, perlahan husna menyandarkan kepalanya kedada bidang milik sang kakak. Dan inilah yang akan Husna rindukan kelak jika dia tak hidup lagi bersama Arkan.

"Apapun masalah yang kamu hadapi sekarang, Abang yakin kamu bisa melewati semuanya, Abang tahu kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa memutuskan mana yang terbaik untuk jalan hidup kamu, gak selamanya dek Abang bisa berada di samping kamu, suatu saat nanti kita punya jalan hidup masing-masing, dan kelak Abang akan punya tanggung  jawab Abang sendiri. Abang gak mau kamu salah pilih langkah yang dapat menjerumuskan kamu ke jalan yang salah, dan Abang ingin kelak jika ada laki-laki yang dapat merebut hatimu dia adalah laki-laki yang tepat." Jelas Arkan yang kini telah memeluk adik kesayangannya itu.

Mata Husna mulai memanas, sungguh dia tidak rela jika ada seseorang yang akan menggantikan posisinya di hati Arkan. Namun dia juga tidak boleh egois, mau tidak mau, siap tidak siap apa yang di katakan Arkan kepadanya memang benar, bahwa kelak mereka akan memiliki jalan hidup masing-masing, cepat atau lambat itu pasti akan terjadi.

"Jika boleh Abang jujur, Abang salut dengan dokter Hadi"

Mendengar nama itu di sebut membuat Husna melepas pelukannya dari Arkan.

"Maksud Abang?" Tanya Husna yang kini telah duduk tegap di samping Arkan.

"Coba kamu fikir, zaman sekarang mana ada dek laki-laki yang baru mengenal perempuan dan dengan beraninya dia langsung melamar" ucap Arkan yakin.

" Kalau bukan laki-laki yang baik mana mungkin dia akan seberani itu meminta kamu kepada abang" lanjutnya.

Husna semakin di buat pusing dengan keadaan ini, masih adakah secercah harapan untuknya bersama Satrio, pasalnya selama 7 tahun dia mengenal Satrio, belum pernah sekalipun dia mendengar bang Arkan memuji satrio di hadapannya.

Lagi dan lagi, logika dan hatinya bergelut dalam kebimbangan.
Disatu sisi Husna membenarkan apa yang di katakan Arkan padanya, namun di sisi lain hatinya masih terpaut dengan teman masa sekolahnya itu.

" Tapi semua itu terserah kamu, Abang gak punya hak atas pilihan kamu, yang terpenting bagi abang dia baik buat kamu." Arkan kembali membawa tubuh husan kedalam pelukannya.

Hening, tak ada percakapan apapun di antara Kakak beradik itu, mereka tenggelam dalam fikirannya masing-masing, hanya pelukan hangat yang menjadi isyarat bahwa raga keduanya masih berada di tempat yang sama.

Hingga suara ketukan pintu membuyarkan lamunan keduanya.

"Biar Husna yang buka bang" cegah Husna saat melihat Arkan ingin beranjak dari duduknya.

Husna terkesiap saat melihat siapa yang bertamu ke rumahnya, lehernya tercekat, detak jantungnya seakan sudah tak berfungsi, badannya kaku, bahkan dia tak bisa menjawab salam yang di berikan orang itu.

Oh haruskah? Batinnya.

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang