Aku duduk di kursi tepat di samping tempat tidur dimana bang Arkan berbaring tak berdaya.
Sungguh aku tak bisa menahan air mataku, hatiku remuk, orang yang paling aku sayang kini tergolek lemah di atas Brankar.
Abang yang selalu menjagaku, yang selalu mengingatkan aku jika aku salah, kini terdiam kaku seakan tak bernyawa.
"Bang, Abang bangun bang, ini Husna, bang Arkan kan udah janji bang Arkan gak akan tinggalin Husna" ucapku di sela-sela isak tangis.
Tidak ada jawaban apapun dari bang Arkan, hanya bunyi alat pendeteksi detak jantung lah yang menyambut setiap kata-kata yang keluar dari mulutku.
Aku menatapnya lirih, "ya Allah cobaan apa yang sedang engkau berikan kepada hamba, jika aku yang salah aku mohon ya Allah hukumlah aku jangan hukum bang Arkan seperti ini, aku lebih rela jika aku harus menggantikan posisi bang Arkan sekarang. Aku mohon ya Allah jangan sakiti bang Arkan , hanya dia satu-satunya yang aku punya saat ini ya Allah, hanya dia, dia yang menjadi penyemangat hidup ku ya Allah." Tangisku semakin pecah, sungguh aku tidak kuat jika harus terus melihat bang Arkan seperti ini.
Ku tenggelamkan wajahku di samping lengan bang Arkan yang tak terbungkus perban.
Berharap ketika nanti ku tengadahkan wajahku, bang Arkan akan menyambutnya dengan senyuman yang selalu mampu menular pada setiap orang yang melihatnya.
Tiba-tiba
"Husna"
pintu ruangan terbuka.
Aku mengakat wajahku yang telah sembab."Ica" aku berhamburan memeluknya. "Bang Arkan ca bang Arkan" isakanku semakin menjadi saat Ica membalas pelukanku.
"Yang sabar ya na, gue yakin bang Arkan pasti kuat, dia pasti sembuh, sekarang kita banyakin berdoa buat bang Arkan " suara Ica sedikit lirih, dia pun ikut menangis saat melihat kondisi bang Arkan.
"Gimana emang kejadiannya bang Arkan bisa sampe kaya gini?" Suara itu...
Ternyata dia juga ada disini? Dia datang bersama Ica?"Gue gak tau, gua cuma dapet kabar klo bang Arkan udh ada disini,katanya dia kecelakaan,gue belom sempet nanya sama susternya, gua gak bisa mikir, otak gue udh buntu, gua panik, , fikiran gua kacau, gua gak tau harus ngapain lagi selain nemenin bang Arkan disini" jelasku di sela-sela tangisku.
"Yaudah Lo yang sabar ya na, gue bakal nemenin Lo di sini, Lo gak sendiri ada gue sama Ica di sini" Satrio menghampiriku dan menggenggam tanganku.
Entah kenapa hatiku seakan berdesir, detak jantung ku seakan bekerja dua kali lebih cepat.
Ya Allah tolong jaga hatiku, jangan biarkan aku hanyut dalam situasi ini.
***
Ku lirik sebuah jam yang bertengger di dinding rumah sakit.
"Sudah jam 3", gumamku.
Sudah hampir dua setengah jam aku duduk di kursi ini, namun belum ada reaksi apapun dari bang Arkan.
Aku baru ingat kalau Ica dan Satrio menunggu aku dan bang Arkan di depan.
Aku beranjak dari kursi, melangkah keluar untuk menemui Ica dan Satrio.
Aku memejamkan mata sesaat sebelum membuka pintu, berharap agar hati ku akan kuat jika di depan nanti aku harus melihat suatu yang akan menyakiti hatiku.
Krek...
Kehadiran ku langsung di sambut oleh sebuah pisau tajam yang kini menusuk tepat di hatiku.
Sakit!
Dia yang aku cintai kini tengah tertidur pulas di kursi panjang rumah sakit dengan seorang wanita yang menyenderkan kepala di bahunya, tidak lain dan tidak bukan wanita itu adalah Ica.
Mereka duduk berdua berdampingan di kursi itu, kepala satiro bersandar pada tembok rumah sakit, sedangkan kepala Ica bersandar pada bahu Satrio.
Perlahan air mataku jatuh, sungguh aku sangat cemburu melihatnya.
Saat ini yang butuh sandaran itu aku bukan dia!
Aku membekap mulutku agar isakanku tak terdengar oleh mereka, ku urungkan niatku untuk membangunkan Satrio.
Aku segera kembali ke dalam, air mataku terus saja mengalir deras. Ku jatuhkan badanku ke kursi.
Ku genggam tangan bang Arkan erat-erat, ku tenggelamkan wajahku di tangannya.
Aku menangis sejadi-jadinya disana,ku lampiaskan seluruh emosi dan perasaan ku dalam genggaman tangan bang Arkan.
Hatiku sakit, jiwaku hancur.
Ya Allah jika memang ujian ini akan membuat diriku menjadi pribadi yang lebih baik, aku mohon padamu tolong teguhkan hati dan jiwaku, agar dapat menghadapi ujian dari-Mu.
Ingin sekali rasanya aku berteriak sekeras mungkin untuk melupakan segala rasa yang kini tengah berkecamuk di dadaku.
Tapi rasanya itu tidaklah mungkin...
Kira-kira bang Arkan kapan ya sadar dari komanya?
Sedih gak si sama Husna adiknya bang Arkan?
Aku si sedih, kasian tau,
Udah jauh dari orang tua, cintanya bertepuk sebelah tangan dan sekarang satu-satunya Abang yang selalu ngertiin dia koma di rumah sakit :(Jangan lupa vote ya.... :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pilihan
Espiritualseandainya cinta bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh, aku tidak akan pernah memilih mu