Waktu terus berganti, detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi Minggu, Minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun.
Tidak terasa masa pemulihan telah usai, setelah dua puluh lima hari Satrio berada di hotel yang mahal tetapi tidak mengenakkan alias rumah sakit akhirnya dia di perbolehkan untuk kembali kerumahnya.
Rasanya menyenangkan sekali bisa kembali lagi ke rumah menghirup udara segar tanpa adanya lagi bau obat yang menyengat hidungnya.
Rasa senangnya semakin bertambah karena dia bisa pulang ke rumah dengan orang yang sangat sepesial, siapa lagi kalau bukan Icha.
Satrio tahu betul Icha adalah orang yang bisa di bilang sibuk, tapi demi dirinya Icha rela mengorbankan satu kali masa cutinya terbuang hanya untuk menjemput dirinya disini." Terimakasih ya?" Ucapnya kepada Icha.
"Untuk?" Jawab Icha bingung.
"Makasih udah mau jemput aku disini" jelas Satrio seraya mengelus pucuk kepala Icha.
"Mulai kan berlebihan, yaudah sih biasa aja." Icha mulai menuntun Satrio keluar dari ruang inapnya.
Satrio hanya tersenyum dan mengikuti langkah kaki Icha.
Namun ada satu yang mengganjal di fikirannya saat ini, wanita yang bisanya selalu mengkhawatirkannya, wanita yang selalu memperdulikannya, sampai detik ini Satrio belum melihatnya lagi.
Seingatnya terakhir kali dia bertemu dengan Husna di malam itu, tepat sebelum dia mengalami kecelakaan.Bukannya tidak mungkin Husna tidak mau bertemu dengannya lagi, tapi Satrio tahu betul bagaimana sifat Husna, dia tidak akan mungkin tidak khawatir dengan seseorang yang benar-benar dia pedulikan sebelumnya, apa lagi Satrio yakin bahwa Husna tahu jika dirinya mengalami kecelakaan, tapi semenjak Satrio sadar dari komanya sampai saat dia akan pulang kerumah, Satrio tidak pernah sekalipun melihat Husna berada dirumah sakit ini, ataupun menjenguknya.
Sepanjang berjalan di koridor rumah sakit, mata Satrio terus berkelana, barang kali saja Husna berada disini dan akan menjenguknya.
Tapi sepertinya mustahil, dari sekian banyak orang disini Satrio tidak melihat sosok wanita itu.***
Disepanjang jalan pun Satrio terus memikirkan Husna, meski sekarang di sampingnya ada Icha yang menemani.
Kemana anak itu, tumben banget, biasanya dia yang paling khawatir sama gue.batinnya.
Mobil terus melaju, melewati berbagai macam tempat, melewati beratus-ratus pohon, melewati berjuta-juta manusia, tapi kenapa dia tidak berjumpa dengan Husna, kemana perginya manusia satu itu.
"Kita langsung pulang kan?"
Tanya Icha pada Satrio."Mampir dulu boleh?"
"Kemana?" Tanya Icha bingung.
"Rumah Husna yuk, udah lama nih gak ketemu dia, kangen juga sama anak bawel satu itu." Jawab Satrio, ada sebuah garis senyum terbentuk di bibirnya.
"Kan Husnanya gak ada Sat"
"Loh, dia kemana?" Tanya Satrio bingung.
"Kan hari ini Husna terbang ke Paris." Jelas Icha.
"Bohong!"
"Dih, ngapain aku bohong coba? Aku serius."
"Tapi dia gak bilang sama aku, dia juga gak pamitan, dia gak ngomong apapun sama aku kalau dia mau pergi hari ini."
"Sumpah aku gak bohong sat, dia udah pamitan sama aku dari kemarin, malah dia ngajak aku ketemu sebenarnya, tapi akunya yang gak bisa, makanya dia cuma pamit lewat chat."
"Mana coba lihat" Satrio mengambil ponsel Icha yang berada di sebelahnya, kemudian membuka aplikasi WhatsApp dan mencari nama Husna di daftar chat Icha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pilihan
Spiritualseandainya cinta bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh, aku tidak akan pernah memilih mu