18

3.5K 161 0
                                    

Besi pagar yang ada di sebuah balkon kamar yang berada di sebuah rumah berlantai dua bercatkan putih tulang itu seharusnya terasa dingin bila di sentuh, penyebabnya adalah guyuran hujan dan udara malam. Namun lain halnya saat besi itu berada di genggaman Husna, gadis yang saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya. Meski buku-buku jarinya telah memutih akibat rasa dingin yang di hantarkan oleh besi itu, tapi tidak bagi Husna, dia  tidak merasakan apapun selain rasa sesak yang kini memenuhi rongga dadanya.

Satu tetes air mata berhasil keluar dari pelupuk matanya.

Jadi seperti inikah rasanya? Batin Husna.

Hembusan angin semakin menambah dinginnya malam, namun Husna tetap saja tak merasakannya, syarafnya kini seolah tak berfungsi secara normal, tatapannya kosong, hatinya kini tengah berkecamuk.

Pantaskah ia menyia-nyiakan seseorang yang telah dengan tulus mencintainya?

Kepalanya kini dia tumpukan kepada besi itu, tubuhnya perlahan mulai bergetar, isakan-isakan kecil mulai keluar dari mulutnya saat dia teringat jawaban yang dia berikan beberapa saat lalu, saat Hadi datang membawa sepasang cincin dan melamarnya di depan Arkan, Abang yang kini menggantikan posisi orang tuanya yang saat ini jauh di negri orang.

"Assalammualaikum" ucap Hadi ketika pintu rumah calon istrinya terbuka.

"_" tak ada jawaban, sang tuan putri hanya terpaku ketika melihat siapa yang kini berdiri di depan pintu rumahnya.

"Assalammualaikum Miftahul Husna" ulang Hadi dan menyebut nama lengkap sang pemilik rumah yang kini berada di hadapannya.

"Wa-alai-kum sa-lam" jawab Husna tergagap.

"Bang Arkan ada?" Tanya Hadi

"Ada" jawab Husna masih tergagap.

"Boleh saya bertemu?" Kata Hadi seraya melemparkan senyum.

"Emm....."

"Siapa dek?" Tanya Arkan sambil melangkah menuju ruang tamu.

"Dok-" belum selesai Husna menjawab, Arkan sudah keburu melihat siapa tamunya.

"Dokter Hadi, Masya Allah" sela Arkan ketika melihat Hadi.

"Assalammualaikum pak Arkan" salam Hadi seraya mengulurkan tangannya dan langsung memeluk Arkan ketika ukuran tangannya di sambut baik oleh Arkan.

"Masuk dok, wah tumben nih malam-malam datang kesini?" Tanya Arkan dan mempersilahkan Hadi untuk duduk.

"Iya nih, sebenarnya sudah dari sore tadi saya menuju kesini, tapi yang namanya jalanan susah di prediksi, tahu sendiri lah jalanan Jakarta gimana? Jadi setelah magrib deh baru sampai hehe" jelas Hadi sedikit terkekeh di ujung kalimatnya.

"Iya memang Jakarta macetnya parah, apa lagi kalau sudah mau weekend gini kan." Timpal Arkan.

Husna yang masih terpaku di posisinya di kejutkan dengan suara Arkan.

"Bikin minum kali dek, masa ada tamu gak di suguhin apa-apa"

"Eh iya bang" jawab Husna dan langsung berjalan ke dapur.

"Gak usah pak, saya kesini cuma bermaksud-" Hadi menggantungkan kalimatnya.

"Bermaksud apa?" Tanya Arkan penasaran.

"Emmm"

"Kenapa sih kok kayanya serius banget?" Arkan semakin di buat penasaran.

"Emm, maaf ya pak Arkan jika sebelumnya saya telah lancang datang kesini, tapi-" Hadi tidak menyelesaikan kalimatnya, dia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru langit dari saku jasnya dan menyodorkan kotak itu kepada Arkan.

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang