33

3.1K 150 8
                                    

Mentari telah bersinar lagi, semilir angin telah menerpa dedaunan lagi, kicauan burung telah bersambut, menandakan bahwa pagi telah kembali.

Perlahan Husna mulai membuka mata, kemudian memfokuskan penglihatan pada seseorang yang kini tengah berbaring di hadapannya. Diatas brankar kini pria itu terbaring lemah  dengan perban yang melilit di kepalanya. Jarum infus yang menancap di lengannya dan alat pendeteksi detak jantung juga terpasang ditubuh pria itu.
Menyedihkan bukan?

Tapi Husna dengan sabar menemani sang pujaan hati, hingga dia rela terlelap dalam posisi duduk hanya untuk menemani dan menjaga sahabatnya itu.
Ya, lebih pantas memanggilnya sahabat dari pada sang pujaan hati.

Husna masih ingat betul bagaimana reaksinya ketika dia mendapat telepon dari seseorang melalui ponsel Satrio. Saat itu penyesalan langsung menghujam dirinya dengan begitu keras. Seandainya saja dia bisa menahan sedikit keegoisannya pasti semua ini tidak akan terjadi. Kecelakaan ini tidak mungkin menimpa Satrio.
Namun lagi-lagi semua sudah menjadi takdir.

Decitan pintu terdengar di telinga gadis itu, menandakan bahwa seseorang baru saja memasuki ruangan itu.

"Assalamualaikum" ucap seseorang di ujung sana.

"Waalaikumsalam " Husna terdiam sesaat.
Kekasih hati mu telah datang, bangunlah! Batin Husna.

" Lo dari kapan disini?" Tanya Icha, ya siapa lagi orangnya kalau bukan dia. Sang pujaan hati Satrio.

" Dari jam tiga pagi tadi Cha."

"Lo sendiri?"

Husna menggeleng. " Gue gak mungkin sendiri jagain Satrio disini."

" Lalu?"

"Tunggu aja, sebentar lagi juga Dateng orangnya." Kemudian Husna berdiri dari kursi yang dia duduki disamping brankar itu.

"Duduklah, Satrio butuh Lo" dan Icha pun duduk di kursi yang di sodorkan Husna kepadanya.

" Tapi-" belum Icha melanjutkan ucapannya Husna sudah memberikan jawaban dengan senyumnya dan menepuk kedua bahu Icha dengan lembut seraya menjauh dari Icha.

" Gimana semuanya bisa terjadi?" Tanya Icha penasaran.

" Semua sudah menjadi takdir." Husna membuang nafasnya dengan kasar. Dan menjatuhkan tubuhnya di sofa.

" Bener Satrio kecelakaan setelah pulang dari rumah Lo?"

Husna mengangguk. " Semalam dia ke rumah, dan saat itu juga hujan deras banget. Dan akhirnya kita mutusin ngisi waktu buat nunggu hujan reda dengan obrolan yang sangat panjang. Tapi hujannya gak juga reda sampai larut malam. Akhirnya Satrio mutusin buat pulang menerobos hujan, padahal gue tau semalem cuacanya dingin banget. Setelah gue masuk kamar, hp gue berdering,dan bodohnya gue gak langsung merespon panggilan itu. Sampai jam tiga pagi bang Arkan bangunin gue terus ngasih tahu kalau Satrio kecelakaan. Akhirnya Abang langsung ngajak gue kesini."
Icha dengan seksama mendengarkan setiap kata yang di ucapkan oleh Husna.

" Gue berkali-kali telpon ke ponsel Lo tapi gak aktif"
Lanjut Husna.

"Maaf ya, semalam kerjaan gue numpuk, jadi harus lembur dan gak sempat untuk ngecek handphone."

" Tidak apa, seharusnya gue yang minta maaf karena udah lancang menjaganya tanpa izin Lo."
Maaf juga, karena gue gak bisa jujur penyebab kecelakaan ini. Sebab gue gak ingin ngerusak persahabatan kita. Lagi-lagi Husna membatin.

Susana di ruangan itu seketika hening. Husna hanya bisa memandangi aktivitas Icha dari sofa yang dia duduki di ruangan itu.
Husna tidak ingin mengganggu mereka, mungkin dengan kehadiran Icha Satrio akan lebih cepat membaik.

Decitan pintu kembali terdengar.
" Assalamualaikum, eh ada icha. Kapan Datang Cha?"
Arkan memasuki ruangan itu dengan dua kantong belanjaan di tangannya.

"Waalaikumsalam, eh bang Arkan. Baru aja Dateng bang." Icha bangkit dari duduknya kemudian mencium tangan bang Arkan.

" Oh, udah sarapan?" Tanya Arkan seraya melangkah menuju adiknya- Husna.

"Udah kok bang, kalian sarapan aja" Icha kembali duduk di kursinya.

Sebelum Arkan sampai di tempat Husna, adiknya itu sudah bangkit dari duduknya dan menarik lengan Arkan sambil berjalan  kearah pintu.
" Kita sarapan di luar aja ya bang" bisik Husna.

" Tapi-" belum selesai Arkan berbicara Husna terus saja membawanya berjalan keluar.

" Icha kita tinggal dulu ya"
Pamit Husna seraya terus menarik tangan abangnya itu agar ikut keluar dari ruangan itu bersamanya.

"Dek?" Arkan masih bingung.

" Beri mereka waktu untuk berdua bang, mungkin dengan begitu Satrio akan cepat sadar." Jelas Husna ketika mereka telah berada di koridor rumah sakit.

" Tapi kan kamu yang udah jagain Satrio dari semalam dek." Protes Arkan.

" Bang ini bukan waktu yang tepat untuk mementingkan perasaan, ini antara hidup dan mati seseorang bang" jelas Husna seraya menyenderkan kepalanya di bahu Arkan.

Arkan hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Rasamu terlalu tulus untuknya dek. Batin Arkan.

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang