#13

3.8K 198 0
                                    

Mau tidak mau siap tidak siap aku harus tetap menghampiri mereka.

Dengan mengucap basmallah aku melangkahkan kakiku ke arah Satrio dan dokter Hadi yang notabennya adalah dokter yang selama ini menangani bang Arkan.

"Assalammualaikum" ucapku kepada keduanya.

"Waalikumsalam" jawab mereka yang hampir bersamaan.

Nyaliku menciut seketika, saat dua orang yang kini ada di hadapanku menatapku dengan tatapan yang tak biasa,
Meskipun makna dari kedua tatapan itu berbeda. Satrio menatapku dengan tatapan menyelidik, sedangkan dokter Hadi menatapku dengan....
Segala rasa yang dia miliki.

"Na Lo ngapain pagi-pagi kesini?" Tanya Satrio.

Astagfirullah nih anak kebiasaan kalo nanya orang suaranya gak bisa pelan sedikit.

"Mau ketemu dokter Hadi" jawabku.

"Bukannya Lo bilang mau tes beasiswa hari ini?"

"Iya Satrio, tapi gue di suruh bang Arkan kesini dulu buat nanyain gimana kondisi kesehatannya" aku memutar bola mataku malas.

"Oh gitu"

"Terus Lo ngapain di sini?" Giliran aku yang bertanya.

"Nih ketemu sama sepupu gue yang sok sibuk"

Sepupu? Apa aku tidak salah dengar? Yang Satrio maksud sepupu itu siapa? Dokter Hadi?

"Sepupu?" Aku mengulangi kata itu untuk memastikan bahwa aku tidak salah mendengar.

"Iya. Nih dokter Hadi "jawabnya, seraya memberikan sedikit penekanan pada kata dokter Hadi.

Ya Allah ujian apa lagi yang engkau berikan kepadaku? Jadi orang yang aku cintai dan orang yang mencintaiku... Mereka... Saudara sepupu?

Kenyataan ini seolah-olah menghadapkan aku pada dua pilihan, tetap memayungi seseorang yang jelas-jelas tidak pernah menganggap ku ada, atau menerima payung dari seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya.

Sebisa mungkin aku menghirup seluruh oksigen yang ada agar dapat masuk kedalam tubuhku, sungguh kenyataan ini membuatku hampir mati berdiri.

"Kalian saling kenal?" Tanya dokter Hadi bingung.

Aku tak dapat menjawab pertanyaan itu, bibirku seakan kelu, entah kemana perginya suara ku, hingga aku tak dapat menjawab pertanyaan mudah seperti itu.

Bodoh! Aku meruntuki diriku sendiri.

"Makanya jadi orang jangan terlalu sibuk, jadi gak tau kan siapa aja temen-temen gue" jawab Satrio seraya merangkul bahuku dan membawaku agar lebih dekat kepadanya.

Ingin sekali rasanya aku berteriak, mengutuk segala sesuatu yang Satrio lakukan padaku sekarang.

Please Satrio jangan perlakukan aku seperti ini di depan Hadi. Demi apapun aku tak ingin dia merasakan apa yang pernah aku rasakan sebelumnya, karena aku tahu itu rasanya sakit.

Dengan segenap keberanian yang aku punya,aku menatap manik mata Hadi, entah kenapa saat melihat bola matanya yang coklat ada sedikit rasa sakit dalam hatiku.

Lagi dan lagi mataku mulai memanas, dengan susah payah aku menahan air mataku agar tidak tumpah.

Pendengaran ku kini seakan tuli, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan padahal jelas jelas aku berada tepat di samping Satrio,bahkan tak ada jarak lagi Antara aku dengannya,sebab Satrio masih enggan untuk melepaskan rangkulannya.

Maafkan aku Hadi, aku sungguh tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu, aku tahu pasti kini hatimu begitu sakit meskipun kau tidak mengatakannya, tapi aku tahu bagaimana rasanya melihat seseorang yang kamu cintai berada dalam dekapan orang lain, apa lagi orang itu adalah orang yang sangat dekat denganmu, itu rasanya sakit sungguh sangat sakit. Batinku.

***
Jam telah menunjukkan pukul delapan malam, dan aku baru sampai di rumah.

"Assalammualaikum" aku mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah.

"Waalikumsalam" bang Arkan menatapku dengan heran.

"Nih" aku menyerahkan hasil pemeriksaan medis miliknya.

"Dek, kamu gak papakan?" Tanyanya setelah mengambil file yang aku berikan.

Aku hanya menggeleng lemah.

"Kenapa lesu banget?" Tanyanya lagi.

Astagfirullah, sebenarnya aku tidak ingin sedikitpun terlihat seperti ini di depan bang Arkan, aku tidak ingin menambah beban hidupnya.

"Husna gpp kok bang, cuma lagi capek aja" aku mengusap mukaku kasar.
"Aku ke kamar ya" ku langkahkan kakiku untuk segera masuk ke kamar, namun sebuah tangan kekar mencengkram pergelangan tanganku.

Deg...

Jantungku berdegup kencang.

Aku membalikan badanku agar berhadapan dengan sang pemilik tangan, mataku mencoba menatap mata yang biasanya terlihat teduh kini menatapku dengan begitu tajam.

" Abang tahu Husna bohong" suaranya begitu lembut namun kenapa membuat jantungku  serasa ingin melompat keluar.

Aku masih membisu, tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan padanya. Apa aku tega membohonginya lagi, membohongi orang yang selama ini telah menyayangiku dengan tulus, merawat dan mendidikku dengan penuh kasih?oh tidak.

"Husna" panggilnya lagi.

Ketika suara itu menyentuh gendang telingaku lagi, aku langsung berhamburan memeluknya, tak dapat aku pungkiri, tangisku telah pecah saat aku berada dalam pelukannya, ku tumpahkan segala rasa yang menyeruak di dalam hatiku melalui tangisanku ini, biarlah bang Arkan tahu apa yang tengah aku alami sekarang, biarlah aku membagi lukaku kepadanya saat ini. Dan aku pun tak dapat menepis kenyataan lagi bahwa aku hanyalah wanita yang rapuh.

"Menangislah jika itu membuat hati kamu lebih tenang" ucap bang Arkan seraya mengelus pucuk kepalaku yang masih tertutup jilbab.

Aku semakin mengeratkan pelukanku padanya, biarlah waktu terhenti sekarang juga, agar aku tak perlu lagi bersusah payah melepaskan pelukanku pada Abang yang sangat menyayangiku.

I love you so much my bro,semoga Allah selalu menjagamu dalam setiap senang dan sedihmu.

Bang Arkan.......:'(:'(:'(
Aku juga pengen nangis di pelukan bang Arkan.

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang