19

3.4K 156 0
                                    

Keesokan harinya Husna mengajak Arkan kesebuah tempat yang jauh dari keramaian ibu kota. Dimana dia dan Arkan memiliki waktu untuk berdua. ya,hanya berdua tanpa orang lain yang mengganggunya.

Jam baru menunjukkan pukul 08.00 WIB, namun mereka sudah sampai di kota Paris Van Java. Bandung, kita lebih mengenalnya dengan kota Bandung. Jangan tanya kenapa mereka sudah sampai di sana ketika waktu masih tergolong pagi, pasalnya mereka berangkat dari Jakarta seusai sholat subuh.

Udara dingin dan hembusan angin langsung menyambut Husna sesaat setelah dia membuka pintu mobilnya. Mobil Alphard putihnya kini telah terparkir gagah di sebuah halaman villa yang sengaja mereka sewa sebelumnya. Sebenarnya villa ini milik salah satu teman Arkan yang ada di kota ini.

Perlahan Husna mulai turun dari mobil, melangkah masuk ke dalam villa itu. Beribu rasa syukur dia panjatkan  kepada sang pemilik alam, bagaimana tidak, kini hatinya merasa tenang, jiwanya merasa damai saat memandang pemandangan yang begitu indah. gunung-gunung menjulang tinggi dan hamparan pepohonan yang begitu hijau berada tepat di depan matanya.

"Assalammualaikum" ucapnya sebelum masuk ke villa tersebut, meski Husna tahu di dalam sebenarnya tidak ada siapapun.
Perlahan Husna melangkah, menelusuri setiap sudut villa itu.
Sedangkan Arkan kini telah berada di belakang Husna dengan beberapa koper yang ada di tangannya.

"Udah liat-liatnya, gak mau bantu? Capek tahu" celetuk Arkan.
Husna hanya terkekeh, perlahan dia menghampiri Arkan dan mengambil alih kopernya dari tangan Arkan.

" Maaf Abang sayang" katanya dengan lembut.

"Hmmmm, untung sayang" gerutu Arkan.

***

Setelah beristirahat dan membereskan barang-barangnya Husna memilih untuk melewati senja di teras villa, sedangkan Arkan masih beristirahat di kamarnya sebab terlalu lelah menyetir.

Husna menatap keluar, memandang hijaunya pepohonan yang masih terhampar luas, kedua sikunya dia tumpukan pada pagar-pagar kayu yang mengelilingi teras villa ini, udara dingin dan hembusan angin kembali membawa ingatannya pada Satrio, Orang yang menjadi salah satu alasan kenapa dia menolak lamaran Hadi.

Dia teringat kala itu dimana dia sedang merasa tidak enak badan.
Sekujur tubuhnya terasa dingin, sedangkan Arkan merasa kegerahan. Dia berniat tidak ingin menerima tamu siapapun malam itu, sebab dia tahu bahwa tubuhnya perlu istirahat. Namun semua rencana yang telah dia buat kandas saat beberapa panggilan telpon masuk. Satrio, itulah nama yang tertera di layar ponselnya.

"Assalammualaikum, kenapa?" Tanya Husna.

"...."

"Rumah" jawabnya malas

"..."

"Hmmmm"

"...."

"Waalikumsalam" dan Husna langsung menutup telponnya.

Lagi dan lagi perkiraan Husna salah. Dia fikir Satrio akan datang kerumahnya hanya sendiri tapi sayangnya tidak, dia datang bersama orang yang Husna sebut sebagai sahabatnya- Ica.

Husna menemui mereka dengan penampilan seadanya, baju tidur panjang dan kerudung instan yang menjulur hingga menutupi dada.

"Mau ngapain?" Tanya Husna tanpa basa-basi.

"Mau mainlah" jawab Satrio seenaknya.

" Udah jamberapa ini ya?" Tanya Husna ketus.

" Yaelah baru jam sembilan keleus"

"Tau lu na, jam segini udah pake baju tidur aja" timpal Ica.

Husna hanya mengiyakan tanpa banyak komentar, dan jadilah mereka bertiga duduk sambil bercanda, mengobrol ngalor-ngidul. Awalnya Husna biasa saja dan menikmatinya. Namun perlahan rasa cemburu mulai menyelimuti hatinya saat Satrio terlihat lebih asik bergurau dengan Ica.

Sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tidak tumpah, jika boleh jujur dia sangat lelah. Lelah karena harus terus berpura-pura ikut tersenyum saat Satrio meledek Ica. Rasa cemburunya semakin menjadi saat tangan Satrio dengan mudahnya melingkar di bahu Ica, merangkulnya di depan kedua mata Husna, dulu sebelum mengenal Ica Satrio selalu melakukan itu padanya ketika dia membuatnya merasa kesal, namun semenjak kehadiran Ica Satrio tak melakukan itu lagi padanya, bukannya iri, namun dia hanya rindu dengan kebersamaannya dengan Satrio dulu.

Dia tahu dia salah, dia pun sadar dia tak ada hak untuk mencemburinya. Namun yang namanya hati pasti tidak bisa di bohongi.

Bagaimana dia tidak cemburu saat dia berada di tempat yang sama dengan orang yang dia cinta, namun keberadaannya tak di anggap.
Sakit!
Ya,itu yang dia rasakan saat ini.
Apa kamu tidak cemburu saat kamu melihat orang yang kamu sayang tertawa, bercanda, berbicara, menceritakan segala apa yang di alaminya kepada wanita lain. Dan saat itu kamu merasa bahwa dia sangat merasa nyaman bersamanya. Apa kamu tidak cemburu? Pasti kamu merasa cemburu. Tapi apa boleh buat, Husna hanya bisa menyaksikannya dalam diam, ingin sekali rasanya Husna menggantikan posisi wanita itu, tapi dia sadar bahwa cintanya tak berbalas.

Seandainya hidup bisa bertukar peran, aku yang menjadi dirimu dan kau yang menjadi aku, apa kau akan sanggup? Batin Husna.

Setetes air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya, segera Husna menghapusnya, menetralisir rasa sakit yang perlahan menghimpit hatinya.

"Aku bisa tanpamu" gumamnya.

😢😢

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang