"Lo harus dua kali, deh, ngobatin luka gue."
Mendengar Anita berbicara hal itu, Malvin yang tadinya sibuk mengurusi luka baru Anita, kini mengalihkan tatapannya ke arah Anita. "Ngga papa, lain kali, hati-hati aja."
Anita mengangguk, lalu kembali memperhatikan Malvin yang mengurusinya. "Lo tadi berantem, ya?" tanya Anita. "Kenapa?"
Malvin memberhentikan tangannya yang sedang bergerak membasuh luka Anita, ia terdiam, mulutnya tertutup rapat, tidak mengucapkan apapun untuk menjawab pertanyaan Anita.
"Eh, kalau ngga mau ngasih tau, gue ngga maksa."
Malvin mengendikkan bahunya. "Namanya juga cowok," jawab Malvin seadanya.
"Tapi itu memar," Anita menunjuk ujung bibir Malvin yang membiru. "Apa ngga perlu diobatin?"
"Ngga usah," Malvin meletakkan kembali peralatan yang diambilnya, kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah kasur-- tempat Anita sekarang duduk.
"Lo kenapa ngga ke kelas?" tanya Anita. "Minggu depan, kan, udah try out."
"Gue males."
"Kenapa males?" Anita menaikkan satu alisnya, bingung. "Orang tua lo, kan, bakal sedih kalau tau lo begini."
"Percuma," Malvin menatap Anita serius. "Mereka ngga akan pernah puas sama gue, gimana pun."
"Kok?" Anita semakin bingung, dahinya menyerngit hingga kedua alisnya hampir menyatu.
"Nanya mulu." Malvin mengalihkan pandangannya. "Lo mau minum ngga? Gue beliin."
"Minum yang tadi masih ada, tapi gue tinggalin di koridor."
"Yaudah, gue ambil dulu, tunggu di sini." Malvin melangkah menjauh dari jangkauan Anita, ia keluar dari ruangan dengan cat putih tulang itu.
"Lo kenape?"
Dari arah pintu, terlihat Gabriel yang kini sedang bersandar di ambang pintu dengan tangan melipat di depan dada, ia menunjukkan wajah datarnya pada Anita, kemudian perlahan mendekat ke arah kasur yang sedang Anita duduki.
"Ini luka?" tanya Gabriel menunjuk lutut Anita.
"Cacar."
"Ha! Ketawa ngga nih?"
Anita menyerngit, "dih."
"Malvin mana?"
"Barusan keluar," jawab Anita. "Lo ngapain di sini? Fina mana?"
"Ada. Di kantin," Gabriel menduduki kursi yang tadi diduduki oleh Malvin. "Ntar juga ke sini, kali."
"Lo ngapain di sini?" Anita mengulang pertanyaan yang sama.
"Ya, emang ngga boleh? Siapa aja boleh ke UKS."
"Siapa yang bilang ngga boleh?" Anita mengubah raut wajahnya, sebal. "Gue nanya, lo ngapain di sini?"
"Ngeliat lo."
"Penting banget buat lo?" Anita mengangkat satu alisnya. "Sana, ah, ganggu lo."
"Gue cuma diem dibilang ganggu," Gabriel mendengus. "Gini, nih, makanya ngga pernah dideketin cowo."
"Bodo." Anita memutar tubuhnya, kini ia duduk dengan posisi membelakangi Gabriel.
Gabriel tetap diam di tempatnya, tidak beranjak, ia merogoh saku seragamnya, mengeluarkan benda pipih berwarna hitam yang selalu ia bawa ke mana pun. Ia mengetikkan sesuatu di layar tersebut, lalu dua menit kemudian kembali memasukkan benda itu ke dalam sakunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...