Anita melebarkan kedua matanya, setelah melihat tiga panggilan tak terjawab dari Malvin yang tertera pada layar ponselnya.
Ia buru-buru turun ke lantai bawah sambil memegang ponselnya. Setelah itu, ia mencari keberadaan Bi Eroh. "Bi! Bi Eroh," teriak Anita.
Bi Eroh datang dengan cepat sambil memegang kemoceng. "Kenapa, Non?"
"Ada pulsa, Bi?"
"Ada nggak, ya?" Bi Eroh terlihat berpikir sebentar. "Bentar, ya. Diliat dulu."
Anita melompat ke atas sofanya, ia memeluk bantalan sofa dengan gemas, menunggu kedatangan Bi Eroh. Setelah dilihatnya Bi Eroh berada beberapa meter di depannya, tanpa menunggu lama ia turun dari sofa dan menghampiri Bi Eroh. "Gimana Bi?"
"Ada Non, tapi kayaknya cuma cukup buat SMS, deh."
"Nggak papa--" Omongannya terhenti ketika ponselnya bergetar lagi, menunjukkan nama Malvin yang meneleponnya kembali. "Nggak usah, deh, Bi. Makasih!"
Anita kembali duduk di sofa, ia menatap ponselnya lagi, mebarik napas perlahan, kemudian menggeser tombol hijau itu.
"Hallo!" katanya senang, ia juga tidak mengerti mengapa.
Orang di seberang sana terkekeh, mendengar jawaban dari Anita yang kelewat bersemangat.
Anita jadi malu sendiri. "Eh? Maksudnya. Hallo." Intonasi bicaranya berubah, menjadi datar.
"Lo di mana?"
"Di rumah."
"Eh bilang apaan, nih--"
Anita tersenyum mendengar suara Malvin dari seberang sana yang menghilang seketika, karena Malvin menjauhkan ponselnya. Ia tetap menunggu hingga Malvin mengucapkan kalimat berikutnya.
"Mau ke luar nggak?"
"Boleh."
"ASIK!"
"Seneng, deh, seneng."
"Udeh, gas!"
Anita tersenyum singkat walaupun tidak dapat dilihat oleh Malvin.
"Nggak usah dengerin temen-temen gue," ujar Malvin dari sana. "Gue ke sana, ya?"
Belum sempat Anita menjawab, telepon sudah dimatikan sepihak oleh Malvin, mungkin supaya teman-teman Malvin tidak mengucapkan hal lain yang aneh-aneh.
Anita dengan cepat naik ke kamarnya, ia langsung membuka lemari pakaiannya, mengganti pakaian tidurnya dengan baju lengan panjang yang agak besar serta celana jeans.
Ia melihat dirinya di pantulan cermin, lalu menyisir rambutnya. "Duh, untung rambut gue lagi bagus." Rambutnya dibiarkan terurai, tidak seperti di sekolah, ia lebih sering menguncir rambutnya.
Pandangannya tertuju pada jam tangan di tangan kirinya, pukul 20:00 tepat. Anita turun dari kamarnya, memutuskan untuk menunggu di ruang tamu.
Tujuh menit kemudian, bel di rumahnya berbunyi beberapa kali. Anita berlari kecil menuju pintu rumahnya, ia berusaha menetralkan detak jantungnya. Dengan gugup ia perlahan membuka pintu rumahnya.
"Hai."
Laki-laki di depannya kini memakai hoodie berwarna abu-abu, dipadu dengan celana pendek selutut berwarna hitam. Malvin menunjukkan deretan giginya ketika melihat Anita membuka pintu rumahnya, walaupun ekspresi yang ditunjukkan Anita datar sama sekali, berbeda sekali dengan apa yang sebenarnya Anita rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...