Mendekati Ujian Nasional yang akan diadakan dua bulan lagi, Malvin semakin memaksimalkan dirinya untuk menghadapi hal tersebut. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, yang artinya sudah hampir tiga jam ia berkutat dengan buku-buku latihan soal serta LKS yang diperoleh dari sekolahnya.
Merasa lelah, ia memilih untuk menutup buku-buku yang sudah berserakan di atas meja belajarnya itu. Ia memijat pelipisnya pelan, perutnya kembali terasa lapar, padahal sebelum belajar, ia makan malam terlebih dahulu. Dengan cepat, ia melangkahkan kakinya ke lantai bawah, mendapati ayah dan ibunya kini sedang menonton siaran televisi entah apa.
"Vin!"
Menghembuskan napas pelan, Malvin terpaksa menoleh, ia menghampiri Laura yang baru saja memanggilnya. "Apa, Ma?"
"Sini dulu," jawab Laura, menepuk tempat di sebelahnya.
"Nggak ah, mau makan."
"Heeh! Dibilangin kok ngeyel." Laura kembali berujar. "Kualat tau rasa kamu."
Kembali menghela napas, Malvin memilih mengikuti perintah ibunya. Ia duduk tepat di sebelah Laura. Hingga kini Laura dihimpit oleh Malvin dan juga Robert."Kenapa?"
"Kamu jarang nongkrong, ya sekarang kalo Mama liat-liat," Laura mangut-mangut. "Lagi dimusuhin kamu, ya?"
"Mana ada!" balas Malvin, sedikit terkekeh singkat.
"Iya, kamu jarang pergi-pergi sekarang," Robert ikut nimbrung, walaupun tidak menatap Malvin, melainkan televisi di depannya. "Pulang juga selalu tepat waktu."
Malvin terdiam sebentar, kalau Laura yang berbicara, Malvin mudah saja menjawabnya. Namun jika ayahnya, rasanya berbeda, ia seperti kehabisan kata-kata, entah apa yang membuat hal itu terjadi, namun sejak memasuki masa Sekolah Menengah Pertama, justru Malvin terasa amat jauh dengan Robert, entah karena alasan apa, yang Malvin lupa awal mulanya.
"Eum, iya, Pa."
"Kamu udah tau mau lanjut ke mana?" Robert sama sekali tidak mengalihkan pandangan, pria yang umurnya hampir kepala lima itu asik dengan siaran telvisi di depannya.
"Udah." Malvin menjawab pelan.
"Ke mana?"
"Aku mau daftar sekolah penerbangan."
Kali ini, Robert mengalihkan pandangan, buru-buru ditatapnya anak sulungnya itu. Dengan teliti, ia melihat Malvin dari atas hingga bawah. Kantung mata yang mulai nampak jelas di bawah matanya, rambut yang nampak acak-acakan, dan wajah yang terlihat sangat kelelahan. Tentu saja Robert tahu alasan Malvin belakangan ini jarang keluar rumah dan memilih menghabiskan waktu di kamar. Tentu saja Robert mengerti mengapa beberapa waktu belakangan ini Malvin pulang lebih cepat dibandingkan biasanya.
Dalam hati, Robert tersenyum, perasaan bahagia menyelimutinya. Alih-alih mengungkapkan kebanggaannya terhadap Malvin, pria itu memilih memasang wajah datar di hadapan puteranya itu.
"Oh, bagus," ujar Robert singkat, kembali fokus pada layar televisi di depannya.
"Wahhh, Malvin!" Laura menciumi wajah si sulung berkali-kali. "Anak Mama udah gede ternyata. Udah mau tua aja, sih kamu. Padahal kemaren rasanya kamu masih nangis-nangis nggak mau masuk sekolah tuh pas TK."
"Mama udah ih," Malvin menarik diri. "Rese."
Laura tertawa. "Kamu sama Marvel jangan cepet-cepet gede dong, masa Mama sama Papa ditinggal berdua aja di sini."
"Ya, masa kecil terus."
"Kamu sekarang udah nggak mau dicium-cium, ya." Laura tertawa lagi. "Dulu waktu kamu bayi, kamu sering banget minta cium-cium sama Mama sama Papa, tuh. Sampe Papa kerja aja digangguin, tau nggak?"
"Boong kali."
"Kan! Ngeyel emang kamu itu," balas Laura. "Papa juga, kalo belom nyium kamu, nggak mau dia berangkat kerja."
"Ngarang aja kamu," Robert buka suara. "Mana ada aku kayak gitu."
"Nah! Kamu juga ngeyel, Mas." Laura mencebik kesal.
"Ya, kamu ngomong enggak-enggak."
"Ih! Beneran tau, orang tiap tidur aja kamu harus ngelonin Malvin dulu baru mau ngelonin aku, Mas."
"Apa, sih kamu, ah."
Entah kapan terakhir kalinya, Malvin merasakan hal ini. Berada di antara kedua orang tuanya sambil berbincang hangat. Tanpa bisa dicegah, ia menarik bibirnya ke atas, membentuk senyuman yang jarang diberikannya pada orang-orang di rumah ini.
"Kamu juga, apa senyum-senyum?" Robert mengalihkan pandangan, tidak sengaja melihat Malvin yang mengukir senyuman.
"Dih? Enggak." Malvin otomatis mengubah wajahnya kembali, cowok itu menampilkan wajah datar, sedatar-datarnya.
"Mama mau ambil kopi dulu," Laura beranjak, ia pergi melangkah ke arah dapur.
Meninggalkan Malvin dan Robert di satu sofa yang sama, membuat Malvin gugup setengah mati. Masalahnya ia bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya di situasi seperti ini; berdua dengan Robert. Oleh karena itu, laki-laki tersebut memilih sibuk dengan televisi, walaupun tidak tahu acara apa yang ada di depannya ini.
"Kalau butuh apa-apa, bilang Papa."
"Hah?" Malvin mengerjap, menatap Robert bingung. "Maksudnya?"
"Kamu mau daftar di sekolah penerbangan, kan?" Robert menjawab. "Kalau butuh sesuatu, bilang Papa."
Sekali lagi, Malvin tidak tahan untuk tidak tersenyum, perasaan hangat menyelimuti dirinya, rasanya ada sesuatu dalam dirinya yang meledak-ledak. "Ma-makasih, Pa."
"Hmm." Robert menggumam pelan.
"Nilai Malvin naik, Pa," ujar Malvin memberitahu.
Robert menghela napas, tidak tahan lagi, pria itu kembali mengalihkan pandangan, menatap puteranya dengan mata berbinar. "Kamu udah berusaha," balas Robert pelan. "Papa seneng banget, Vin, kamu kayak gini." Robert memberi jeda, kembali menambahkan. "Seneng bangettt," ulangnya sekali lagi.
Gejolak yang ada dalam diri Malvin meronta-ronta, matanya mulai memanas mendapati perlakuan manis sang ayah terhadap dirinya. Mengetahui bahwa Robert menghargai setiap usaha yang dilakukannya. Mengepalkan tangan kuat-kuat, Malvin berusaha nampak biasa saja, seakan perkataan Robert tidak memberikan efek apapun dalam dirinya.
"Semangat, Nak." Robert menepuk pundak Malvin dua kali, kemudian berdiri dari tempatnya duduk. "Kamu pasti bisa. Papa percaya sama kamu."
Setelah mengucapkan itu, Robert melangkah menjauh meninggalkan Malvin, pria itu berjalan masuk menuju kamarnya yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Malvin sekarang duduk.
Ketidakhadiran Robert membuat pertahanannya runtuh, matanya yang semula hanya memanas kini sudah mengeluarkan cairan bening, ia menunduk, mengusap kasar air matanya yang tumpah. Nyatanya, perkataan Robert menimbulkan efek yang luar biasa untuk dirinya.
Perlakuan Robert yang menyemangati Malvin membuat semangat Malvin terbakar, ingin berusaha sebaik mungkin, ingin berjuang lebih lagi. Untuk keluarganya, untuk orang-orang di sekitarnya, dan untuk dirinya sendiri.
Segala emosi bergejolak di dalam diri Malvin, tidak dapat dikontrol, justru air mata yang keluar bertambah banyak. Sebelum ada yang melihat, Malvin buru-buru melangkahkan kaki ke lantai atas, masuk kembali ke dalam kamarnya. Mengunci pintu rapat-rapat, lelaki itu membanting diri di atas kasur, berusaha untuk tertidur.
Sementara di dalam kamarnya, Robert merapalkan doa kepada Yang Maha Kuasa, untuk kedua puteranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...