Beating Heart [15]

269 15 1
                                    

Laki-laki dan perempuan itu melangkah bersama di sepanjang koridor, sang perempuan memeluk buku latihannya, sementara si laki-laki memegangi tali miliknya. Laki-laki itu melirik ke arah perempuan dengan ekor matanya, raut cemas nampak di wajah cantik gadis itu.

"Kenapa?" tanya Gabriel pada akhirnya.

"Gu-gue takut, Gab."

Gabriel menaikkan satu alisnya ke atas, "takut apa?"

"Pelajaran Bu Lili pertama, makanya gue buru-buru minta anterin lo, sekarang masih ada satu jam pelajaran lagi. Gue takut kalo masuk kelas, malah dimarahin."

"Oh." Gabriel mangut-mangut mengerti. "Ini buku tugasnya Bu Lili?"

"Iya." Anita mengangguk lemas.

"Santai aja," Gabriel memegang salah satu bahu Anita. "Gue temenin sampe masuk kelas, ayo."

Setelah mengucap itu, Gabriel mempercepat langkahnya, otomatis membuat Anita melakukan hal yang sama. Puluhan anak tangga mereka lewati, hingga sampai di pintu setinggi dua meter dengan tulisan X MIA 3.

Gabriel mengetuk pintu kelas yang tertutup itu sebanyak tiga kali, lalu memutar kenop pintu setelah itu membukanya, seluruh perhatian kelas tertuju pada dirinya yang berdiri di depan ambang pintu, ia menarik pelan tangan Anita hingga keduanya sukses masuk ke dalam kelas tersebut.

"Pagi, Ibu," sapa Gabriel ramah.

Bu Lili-- guru fisika yang juga mengajar Gabriel karena adanya lintas minat, menatap keduanya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Udah jam kedua."

"Anita telat, Bu." Gabriel menoleh ke belakangnya. "Gara-gara saya."

Anita terlihat terkejut sebentar, "apasih, Gab!" bisik Anita, sepelan mungkin.

Valdo dan Fina memerhatikan keduanya dengan seksama, tatapan penuh tanya diberikan oleh Fina, sementara tatapan penuh kebencian diberikan oleh Valdo untuk laki-laki di depan Anita.

"Saya ngga mau tau," jawab Bu Lili.

Gabriel terlihat terdiam sebentar, bingung ingin menjawab apa.

"Saya ngga suka kalau ada murid yang terlambat di pelajaran saya."

Anita menghembuskan napas pelan. "Maaf, Bu," cicitnya.

"Kamu keluar aja."

Anita membulatkan matanya, setelah ia sudah berlarian untuk mengambil buku tugasnya yang tertinggal, terjebak macet bersama Gabriel, tidak diizinkan masuk karena terlambat, sekarang yang sangat disayangkan ia harus keluar kelas, padahal ini salah satu mata pelajaran kesukaannya.

"Tadi Anita telat karena ngambil tugas fisika yang ketinggalan." Gabriel mengambil buku bersampul biru itu, kemudian menunjukkannya pada Bu Lili. "Percuma dia bela-belain balik lagi ke rumah, kalau tau disuruh keluar juga."

"Gab, udah." Anita menarik pelan seragam Gabriel. Kemudian mulai berjalan keluar dari kelas.

"Anita," panggil Bu Lili. "Kamu duduk."

Anita menunjukkan deretan giginya, kemudian berjalan menuju mejanya. Kini tatapan Bu Lili beralih lagi pada Gabriel. "Kamu ngapain masih di sini?"

"Eh, iya, Bu," Gabriel mendekat ke arah guru muda itu. "Salim dulu, biar ngga slek."

Bu Lili mendengus pelan, kemudian tak lama punggung tangannya sudah menempel di dahi Gabriel. Setelah itu, Gabriel keluar dari kelas Anita.

***

Setelah diberi beberapa pertanyaan oleh Bu Eka-- guru pelajaran sejarah yang sedang mengajar di kelas Gabriel. Akhirnya Gabriel dipersilahkan duduk.
Gabriel meletakkan tasnya yang terbilang cukup ringan ke bangku kayu berwarna coklat yang ada di sebelah Omen.

"Gue mah kalo jadi lo, mending ngga usah masuk sampe selesai."

Gabriel melirik sebentar, mengeluarkan buku tulis dari tasnya, kemudian menarik buku cetak sejarah milik Omen ke tengah-tengah meja mereka berdua. "Berdua, ye, Men. Ngga bawa buku."

"Gitu terus lo." Omen mendengus kesal, ia menoleh ke depan, Bu Eka sedang memberikan penjelasan tentang teori terbentuknya bumi. "Anita kenape tadi?"

"Biasa."

"Biasa, biasa apaan?" kata Omen setengah sewot.

"Kepo banget lo, jelek." Gabriel melirik sebentar ke depan kelas, lalu kembali ke arah Gabriel. "Berapa lama lagi, Men?"

"Apanya? Jam Bu Eka?"

Gabriel mengangguk ringan.

"Bu Eka hari ini tiga jam." Omen menopang dagu, lalu melihat jam tangan berwarna hitam di pergelangan kiri tangannya. "Satu jam, lima belas menit lagi."

Gabriel langsung mengambil tas yang sempat ia letakkan di atas kursinya, dan diletakkkan di atas meja, lalu menenggelamkan kepala, dan menutup matanya.

***

Hal lain yang Anita sukai selain secangkir kopi panas dan kue tiramissu, ialah masakan dari asisten rumah tangganya-- Bi Eroh. Bi Eroh, Mang Sarip, dan Anita makan malam bersama di meja makan.

Berkali-kali Bi Eroh dan Mang Sarip menolak makan di meja makan, karena menurut mereka tidaklah pantas, namun Anita tidak pernah mau makan sendiri, sementara Ibu Anita-- Elin, baru pulang kerja ketika Anita hampir terlelap.

"Non--"

"Anita aja, Bi," sela Anita, sambil menyuap sesendok nasi.

Bi Eroh menunjukkan cengiran kecil, ia menyukai anak berumur lima belas tahun yang ada di hadapannya ini. "Gimana sekolahnya, Non?"

"Aduh, nih ya, Bi, Mang Sarip. Tadi Anita takut banget, soalnya telat gitu, beneran deh. Udah gitu kan Anita dianterin sama temen, dia lemot banget! Coba kalo lebih cepet, pasti kan nyampe sekolah tepat waktu kan?! Akhirnya jadi dihukum ngga boleh ikut pelajaran satu jam, duh, Anita ngga mau lagi deh, telat-telat begitu!" ujar Anita mengebu-ngebu, beberapa butir nasi keluar dari mulut kecilnya.

Mang Sarip dan Bi Eroh tertawa bersama. "Pelan-pelan, Non." peringat Mang Sarip. "Bukannya justru enak, ya, ngga ikut pelajaran? Dulu, Mang Sarip kerjaannya madol terus, tuh, Non."

"Enak apanya, Mang?! Kecuali kalo dihukumnya bareng Valdo, lah ini?" katanya sambil mengambil lauk.

"Hahahaha," Mang Sarip tertawa lagi.

Anita melirik ke jam dinding yang berada beberapa meter dari tempatnya duduk, jam menunjukkan pukul 20:15.

"Mama pulang kayak biasa, Bi?"

Bi Eroh terdiam sebentar. "Oh, iya, Non. Bibi lupa ngasih tau. Katanya Nyonya ngga pulang tiga hari, tadi pagi sebelum berangkat, baru ngasih tau Bibi."

Anita menarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Kok, Anita ngga dikasih tau sama Mama, Bi?"

Air wajah Anita berubah, yang semula senang dan menikmati makananan, kini tampak tidak berselera lagi.

Bi Eroh dan Mang Sarip saling pandang, merasa tak enak, Bi Eroh berjalan menghampiri Anita, dan mengelus punggung Anita perlahan. "Ngga papa, Non. Mungkin Nyonya mau ngasih tau, tapi Non belum bangun."

"Iya," jawab Anita lesu.

"Nanti Bibi masakin puding, oke?"

"Whoa! Oke!" jawab Anita, kembali menikmati makanannya. Bi Eroh tersenyum puas, Mang Sarip mengedipkan sebelah matanya pada Bi Eroh.

Beating HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang