Jam menunjukkan hampir pukul delapan malam, Gabriel dan Fina masih berada di tempat yang sama. Beberapa pengunjung datang, beberapa pengunjung pergi, namun mereka tetap berada di sana.
Jika ada istilah hari terbaik dalam hidupnya, mungkin menurut Fina, inilah hari tersebut. Bersama Gabriel dalam waktu yang terbilang cukup lama, mengobrol berbagai macam hal yang membuat keduanya tertawa, memakan es krim dari penjual keliling dengan rasa kesukaan masing-masing, lalu menyaksikan matahari terbenam hingga kini langit berubah warna.
Keduanya berada di jarak yang dekat, bahkan kini ia merasakan lengan Gabriel bersentuhan dengan bahunya. Dampaknya luar biasa bagi Fina, rasa gugup, senang, deg-degan, semua bercampur menjadi satu.
Gabriel memang pandai mengendalikan perasaannya.
"Fin."
"Gab."
"Eh? Lo duluan, deh."
"Nggak, lo duluan aja, Fin."
"Hmm, gue mau balik, Gab." Fina melirik jam tangan berwarna putih tulang yang ada di pergelangan tangannya. "Udah hampir jam delapan."
"Ah, iya," ujar Gabriel. "Gue juga tadi mau ngajak lo balik, Fin."
"Ngajak balik?"
"Iya." Gabriel mengangguk. "Kenapa? Oh, lo bawa mobil, kan, ya?"
"Enggak, sih."
"Lah? Tumben?" Gabriel menyerngit.
"Lagi di bengkel."
"Kok lo udah bawa mobil, deh?"
Fina menaikkan kedua bahunya. "Gue udah tujuh belas tahun, seharusnya emang kelas dua, sih."
"Kok lo udah gede?"
"Jadi gue tua?" Fina menatap Gabriel sebal.
"Nggak gitu!" Gabriel menyilangkan kedua tangannya. "Nggak papa, gue suka yang gede."
"Apa, Gab?"
"Lebih dewasa, gitu maksudnya." Gabriel berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengulurkan tangannya pada Fina. "Ayo, Fin. Gue anter."
Fina menerima uluran tangan Gabriel, hingga akhirnya kedua tangan mereka menyatu. "Ayo."
***
"Pegangan, Fin."
"Kalau nggak mau?"
"Lo yang rugi," Gabriel mengenakan helmnya kemudian terkekeh. Di balik punggung Gabriel, Fina menyunggingkan senyuman tipis, tangannya berpegang pada tas sekolah Gabriel yang kini menjadi pembatas jarak antara dirinya dan Gabriel.
"Tas lo nggak ada isinya, ya?"
Gabriel menyalakan mesin motornya, lalu mulai mengendarai motor miliknya. "Ada! Buku tulis dua."
Fina tidak menjawab, hanya terkekeh menananggapi pujaan hatinya ini.
"Kenapa, Fin? Lo mau tasnya di taro di depan? Biar bisa makin deket sama gue? Ngaku lo."
"Nggak gitu!" sergah Fina langsung.
"Kalau mau gitu juga nggak papa."
Wajahnya memanas, semburat merah muncul di pipinya. Untung Gabriel tidak melihatnya! Ia bisa malu sendiri.
"Lo nggak laper apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
أدب المراهقينAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...