Sudah tujuh menit semenjak kepergian Dika, keduanya hanya saling tatap tanpa mengucapkan kalimat apapun. Melihat Anita yang seperti ini, membuat segala kalimat yang ingin diucapkan Gabriel tertahan di ujung lidahnya.
Setiap Gabriel membuka mulut dan ingin mengucapkan sesuatu, hal itu tidak jadi dilakukannya, takut-takut justru apapun yang diucapkan merupakan suatu kesalahan.
"It's so weird," gumam Anita pada akhirnya, suaranya seringan angin.
"That's it."
"Dari banyak orang di muka bumi ini, kenapa harus lo, sih, Gab?" helaan napas pelan terdengar dari yang perempuan. "Gue jadi berasa gimana, ya, gue bingung."
"Lo nggak bisa nerima gue, ya, Ta?"
"Nggak gitu, Gab." Anita memainkan jemarinya, mendadak gugup ditanya seperti itu. "Gue berasa...." Anita kembali menatap lelaki yang kini sedang menatapnya juga. "Aneh aja."
"Jadi gue musti gimana, Ta? Gue bingung kalau udah kayak gini harus gimana ke elo-nya. Gue berasa tolol abis."
"Ya, apa yang bisa diubah, sih, Gab?"
"Nggak ada."
Anita kembali terdiam, sibuk memainkan sedotan pada minumannya, tenggelam dengan pikirannya sendiri.
"Lo nggak mau ngomong apa-apa, Ta?" tanya Gabriel hati-hati.
Membutuhkan waktu beberapa detik hingga akhirnya Anita paham kemana pertanyaan ini mengarah.
Ia menarik napas perlahan, kemudian menghembuskannya pelan, berkali-kali hal itu dilakukannya supaya ia merasa lebih tenang.
"Bokap sama Nyokap gue, dulu akur banget. Gue udah berasa jadi manusia paling bahagia waktu itu, karena nggak semuanya, kan, bisa ngerasain hal yang gue rasain?" Anita mengandahkan kepalanya sebentar, berusaha mengingat tentang apa-apa saja yang pernah dilaluinya. "Lalu, setelah gue dibesarkan penuh kasing sayang selama beberapa tahun, gue ngerasa benar-benar ada yang beda dari mereka berdua, ujuk-ujuk udah pisah. Gue juga nggak ngerti alasannya apa, Anita kecil benar-benar nggak paham sama jalan pikiran orang dewasa."
Ada jeda beberapa detik setelah Anita menyelesaikan kalimat sebelumnya, Gabriel terlihat serius mendengarkan, tidak memaksa Anita untuk sesegera mungkin melanjutkan kalimatnya.
"Setelah tiga tahun Nyokap sama Bokap pisah, Bokap memutuskan untuk menikah lagi, dan, ya, sama Tante Vanya, yang nggak lain adalah Nyokap lo." Anita menggigit bibir bawahnya cukup kencang, sampai ia pun merasa bahwa hal tersebut menimbulkan luka kecil. "Dan Dika...." Perempuan itu mengusap wajahnya sebentar, cukup kasar. "Gue sama Dika dipisahin setelah itu. Awalnya setelah mereka cerai, gue masih gampang banget buat ketemu Dika, Gab. Sampai pada akhirnya, Nyokap memutuskan untuk pindah ke Bogor, gue sempat beberapa tahun tinggal di sana. Dan nggak pernah berhubungan sekalipun dengan Dika dan Papa."
"Nggak sama sekali?"
"Nggak sama sekali," jawabnya tegas dan yakin. "Gue sampe sempat sebal juga, sih, sama Nyokap, entah dulu gue udah berapa kali maki-maki Nyokap dalam hati. Gue juga pernah, tuh, sampe mau kabur dari rumah waktu itu, cuma biar gue bisa ketemu sama Dika." Anita mendengus geli membayangkan dirinya yang berumur sepuluh tahun waktu itu. "Akhirnya kelas delapan, kami pindah lagi ke Jakarta, dan masih dengan tujuan yang sama, gue tetap mencari Dika. Walaupun hasilnya nihil. Gue bahkan nggak tau apapun soal Dika. Kayak dimana dia tinggal, akun sosial medianya, atau yang lain."
Gabriel menepuk pelan tangan Anita, merasakan kulitnya dan telapak tangan Gabriel yang cukup kasar bersentuhan. Setelah itu ia mengelus punggung tangan Anita pelan-pelan. Perlakuan kecil Gabriel membuat Anita merasa lebih tenang berkali-kali lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...