Beating Heart [40]

124 10 0
                                    

Ujian praktik kimia kali ini berjalan cukup lancar, Malvin dan ketiga temannya masih duduk di salah satu bangku lab kimia sambil menatap tabung reaksi yang berisi larutan berwarna di depan keempatnya.

Apoy menatap benda-benda itu tak berkedip, beberapa detik kemudian, ia menggaruk pelan kepalanya. "Ini kenapa kita bengong ngeliatin tabung-tabungan segala?"

"Lah? Elo Poy, yang dari tadi kagak kedip." Ariel mulai membuka jas laboratorium yang dikenakannya, sarung tangan karet yang sedari-tadi belum dilepasnya pun akhirnya ia lepaskan. "Ayo, eh balikin jas lab-nya buset. Itu udah pada keluar."

"Kalian kok masih di sini, Nak?" Bu Lucy tiba-tiba sudah berdiri di dekat meja mereka, menatap heran keempat orang itu.

"Iya, Bu." Pandu tersenyum ramah, dari semua guru yang mengajar mereka, Bu Lucy adalah guru favorit Pandu. Selama mengajarnya dari kelas sebelas, semenjak itu pula Pandu menetapkan bahwa Bu Lucy adalah guru kesukaannya sampai saat ini.
Cowok itu melepaskan jas yang sejak dua jam lalu membalut tubuhnya, kemudian segera menatanya kembali seperti semula ketika ia mengambilnya. Hal itu pun dilakukan juga oleh teman-temannya yang lain.

"Bu, kami permisi, ya."

"Iya, Nak."

Mereka keluar dari tempat itu, berjalan di koridor dengan santai. Cuaca kali ini tidak panas, angin berhembus meniup helaian rambut mereka, menimbulkan rasa sejuk dan damai. Langkah keempatnya terhenti ketika melihat pendopo, tanpa intruksi dari siapapun, keempatnya berjalan beriringan ke arah sana.

Malvin bersandar pada tembok besar di belakangnya, Apoy berada di sebelah Malvin sambil menekuk kedua kakinya. Di samping Apoy, ada Ariel yang sedang duduk, serta Pandu yang menjadikan paha Ariel sebagai bantalan. Keempatnya hening, menikmati suasana menenangkan yang menyelimuti mereka. Para lelaki itu menatap sendu bangunan yang sudah hampir setiap hari selalu didatangi kurang lebih tiga tahun ini, bangunan kokoh menjulang tinggi yang selalu menjadi rumah kedua bagi mereka.

Malvin menghela napas panjang, mengalihkan pandangan ke arah teman-temannya. Sesuatu dalam dirinya membuncah, berteriak ingin dikeluarkan. Tanpa sadar, yang Malvin pikir bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, justru menjadi suatu bagian paling berarti hingga saat ini. Ia meremas pelan jemarinya, menahan gejolak emosi yang tiba-tiba menggerogotinya seketika.

Ariel tidak berkata-kata, begitupula dengan Pandu yang kini masih tetap berada di posisi yang sama-- tertidur di paha Ariel, sambil menatap lurus ke arah langit-langit pendopo dengan tatapan kosong. Apoy menenggelamkan kepala di lekukan kakinya, sesekali mengubah posisi sehingga langsung menatap gedung sekolah di hadapan mereka.

"Gue..." Malvin menggantungkan kalimatnya, mulutnya kembali terkatup rapat. Ketiga temannya kini sudah menoleh bersamaan ke arahnya, menunggu sang pemilik suara menyelesaikan ucapannya.

"Gue...?" sahut Apoy, mengulang kalimat yang sama karena Malvin hanya diam.

Malvin ingin jujur.

Ingin berkata bahwa ia sangat beruntung memiliki ketiga temannya, ia ingin mereka tahu bahwa dirinya tentu akan merindukan ketidakhadiran teman-teman yang selalu menemaninya. Malvin ingin teman-temannya sadar, bahwa ia menyayanginya.

"Gue..." Malvin kikuk sendiri, kemudian bergerak tidak nyaman. "Gue haus, ke kantin dulu ye, bentar."

"Yaelaahhhhh," Pandu mendesah panjang. "Eh, tapi nitip aer juga dong, mager."

"Hm." Malvin berjalan malas menuju kantin yang letaknya tidak terlalu jauh dari pendopo, cowok itu menyisir pandangan, hingga menemukan seorang perempuan yang tengah duduk bersama dengan salah satu teman lainnya.

Beating HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang