Suara teriakan serta tepuk tangan dari kiri dan kanan memenuhi jalan ini, sambutan meriah diberikan kepada seorang yang baru saja melewati garis akhir dengan motor merahnya.
Teman-temannya datang menghampirinya satu-persatu, memberikan pelukan ringan serta high five secara bergantian.
Tak lama, lawannya yang memakai motor berwarna hitam datang, ia memberhentikan motornya tepat setelah garis akhir, membuka helmnya, lalu mengulurkan tangannya. "Boleh juga lo ternyata."
Laki-laki itu-- Malvin, melihat uluran tangan lawannya barusan, tersenyum miring, lalu menerima uluran tangan tersebut. "Weits, jangan salah."
Seorang perempuan datang dari belakang menghampiri Malvin, perempuan bertubuh tinggi, dengan rambut berwarna coklat, serta kulit putih bersih, perempuan itu-- Vanessa, melingkarkan lengannya pada lengan Malvin.
Malvin hanya mendengus, namun tidak menolak, tapi tidak juga memberikan respon, hanya membiarkan perempuan yang sudah dikenalnya selama satu tahun ini melingkarkan lengannya pada lengan Malvin.
"Vin, ntar anterin gue pulang, ya," pinta Vanessa.
Malvin memutar kedua bola matanya, lalu menoleh pada perempuan di sampingnya, yang tingginya hampir setara dengan dirinya. "Van, gue udah bilang, ngga usah ikut, siapa lagi coba yang repot?"
Vanessa melengkungkan bibirnya ke bawah, setelah itu tersenyum pada Malvin. "Ayolah, please!"
Malvin akhirnya mengangguk, "yaudah jangan nanti, sekarang aja, ngga baik juga cewek kemaleman pulangnya."
Vanessa kembali tersenyum singkat, hanya beberapa kata dari Malvin saja sudah bisa membuat dirinya melengkungkan bibirnya ke atas, "yuk!"
Malvin menoleh pada teman-temannya yang sedang duduk di sembarang tempat, lalu pamit untuk pergi. "Woy! Gue balik ye."
"Ati-ati!" sahut mereka serempak, Malvin dan Vanessa mengangguk bersamaan.
Malvin menaikki motornya terlebih dahulu, disusul oleh Vanessa yang duduk tepat di belakangnya.
"Udah?"
"Iya."
Malvin tancap gas dengan kecepatan yang terbilang cukup pelan, menjauhi tempatnya berlomba tadi. Berbeda dengan keadaan di tempatnya tadi, justru jalanan ini terbilang lumayan ramai.
"Sekarang jam berapa sih?" tanya Malvin.
Vanessa melirik pergelangan kirinya, melihat jam tangan berwarna putih tulang yang melingkar di sana, "jam 10, Vin."
Malvin mengangguk tanpa mengucapkan apapun lagi, tidak ingin memperpanjang obrolannya dengan perempuan yang sedang berada di belakangnya ini.
Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan rumah bernuansa putih abu-abu, tentu saja rumah Vanessa.
Vanessa turun dari motor Malvin dengan berpegang pada bahu Malvin, setelah kakinya benar-benar menginjak tanah, ia menoleh pada Malvin. "Makasih, Vin."
"Iya, gue duluan, ya." Malvin langsung menstater motornya dan tancap gas.
"Hati-hati di jalan!" teriak Vanessa.
Malvin yang mendengar teriakan Vanessa hanya mengarahkan ibu jarinya ke udara, sebagai tanda ia mengerti ucapan Vanessa.
Ia mengendarai motornya lebih pelan dibanding saat ia mengantar Vanessa pulang, semilir angin malam seakan menembus kulit Malvin walaupun ia sudah memakai jaket kulitnya.
Ini yang Malvin sukai, angin malam serta suasana sunyi yang menemani dirinya.
Baru sebentar dirinya menikmati suasana tersebut, air datang dan membasahi dirinya, ia menoleh ke sampingnya, tembok yang tidak terlalu tinggi berwarna putih, pasti orang dibalik tembok itu yang sudah melempar air sembarangan ke luar. Malvin merutuki siapapun yang telah berbuat ini padanya, Malvin memajukan motornya sedikit menuju ke depan pagar rumah yang tidak dikenalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionAnita mengagumi Malvin sejak pertama kali mereka bertemu, Malvin adalah lelaki yang beda umurnya hanya dua tahun darinya, yang juga merupakan kakak kelasnya. Sementara Malvin, menanggap pertemuan antara dirinya dan Anita bukan apa-apa. Namun yang t...