UKS

1.3K 164 110
                                    

Sedikit demi sedikit cahaya menelusup di area kornea mata Refa.

Saat seluruh pandangannya terbuka, Refa mencoba bangkit dari tidurannya. Namun, Refa merasa sangat lemas dan sakit di kepalanya.

“Aaa ….” Refa memegang kening atasnya yang baru ia sadari sudah diplester dengan rapi.

“Jangan banyak gerak, Ref.” Deon membantu Refa kembali tiduran.

“Kak, aku kenapa, bisa sampai di UKS gini? Hmm … gara-gara pohon tadi, bukan?” tanya Refa berusaha mengingat kejadian yang menimpanya sebelumnya.

“Iya. Kamu gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Deon cemas.

“Udah tau sakit kepala sampe diplester keningnya, pingsan pula, yang gitu dibilang ‘gak kenapa-napa’?” sindir Refa terang-terangan.

“Yah … gak tau basa-basi kamu mah, Ref.” Deon cemberut dan membuat Refa geli karena baru kali ini ia melihat si ketos yang terlihatnya jaim, ternyata bisa cemberut begitu juga.

Tiba-tiba Refa teringat Farel yang dia ingat dialah penyebab dari semua ini.

“Si Farel mana?!” Refa mulai emosi.

“Sabar, jangan emosi. Heh, bukannya kamu suka sama dia? Hahahaha ....” tanya Deon bercanda dan membuat Refa kesal.

“Nggak lagi!” tegas Refa pada Deon.

Entahlah, aku bingung,” kata hatinya.

Tok tok tok!

Suara pintu diketuk terdengar. Sebelum dijawab pun, orang tersebut yang ternyata Farel, masuk tanpa izin ke dalam ruangan UKS.

“Ref, kamu kenapa? Ini kening kamu kenapa? Tadi kenapa kamu gak liat-liat—”

Belum juga Farel selesai berbicara, Deon menepis tangan Farel yang hampir memegang kepala Refa.

“Hei! Dia lagi sakit kepala, jangan banyak ngomong,” tegas Deon memperingatkan.

Farel tak menghiraukannya dan tetap berusaha menyentuh Refa. Ketika tangannya mendarat di kepala Refa, Refa meringis, “Aw, sakit, Rel ….”

Refa berusaha menepis. Kini, Farel menurut.

“Udah, deh, mending kamu pergi aja dari sini.” Deon mengusir Farel secara tidak langsung.

“Aduh, Kak … ngusir?” Farel menatap Deon.

“Hmm …. Bukan gitu, aku cuman khawatir sama Refa,” ucap Deon kembali salah ucap. Sontak Refa yang disebut namanya, kini memandang Deon.

“Eung … jangan mikir kemana-mana, ya. Maksudku, sebagai kakak kelas, wajar, kan, ngekhawatirin adik kelasnya? Lagian di sini posisinya aku sebagai orang terakhir yang bareng Refa. Kalo ada apa-apa, mau gak mau, aku harus tanggung jawab.” Akhirnya Deon menemukan alasan. Ia merasa sangat lega.

Refa hanya mengangguk menyetujuinya.

“Eh, Ref! Kamu tau gak?” Di saat seperti ini, Farel malah bertanya kepada Refa yang sedang sakit.

“Apa?! Kamu mau bilang kalo kamu baru jadian sama Astri si cabe itu, hah?!” Refa marah dengan pertanyaan Farel yang pasti menuju ke arah itu.

Dan Farel yang mendengar itu, tak terima. “Apa maksudnya Ref, kamu ngomong nama Astri pake embel-embel cabe?”

“Emang iya, kan? Hah! Selamat, ya, akhirnya kamu pacaran sama Astri si cabe plus pengantinmu itu!” sindir Refa sedikit menyentak.

“Kok kamu gitu, sih, ngomongnya, Ref? Gak nyangka, ya. Temen deket aku bisa ngomong gini sama aku. Aku kira kamu selalu dukung aku. Eh, ternyata—”

Farel dan RefaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang