“Gimana, Dok?” Fara bangkit dari duduknya.
Kebetulan, kursinya yang paling dekat dengan daun pintu ruang perawatan. Sebelumnya, Farel sempat dimasukkan ke dalam ruang UGD, hanya saja beberapa waktu yang lalu Farel berhasil dipindahkan ke ruang perawatan. Dan syukurnya lagi, dokter mengatakan bahwa Farel baik-baik saja.
Kini, Refa, Deon, Samuel, Fara, dan Reza masuk ke ruang perawatan Farel. Pemandangan ruangan putih bersih yang seharusnya menenangkan, kini berbanding terbalik dengan keadaan 5 manusia yang masuk ke dalamnya. Mereka merasa terancam dengan hipotesis masing-masing akan keadaan Farel. Walaupun dokter yang merawatnya sudah mengatakan kondisinya baik-baik saja, namun itu semua tak menenangkan situasi, sebelum mendengar sepatah kata dan mata indah Farel terbuka, mereka belum bisa menarik kesimpulan bahwa ucapan dokter itu benar.
Terlihat Fara dengan tergesa-gesa menyentuh fisik adik satu-satunya itu. Berusaha menyalurkan kesadaran yang dimilikinya agar adiknya bisa bangun dan bersikap seperti biasanya. Ini semua masih teka-teki, terlalu mendadak untuk menemukan sebuah jawaban. Fara menangis menumpahkan segala kepedihan atas segala yang menimpa adiknya.
Tiga lelaki yang ikut menjenguk Farel hanya bisa terdiam. Mereka bingung harus berbuat apa. Sehingga mereka hanya mengikuti langkah Fara—sebagai keluarga terdekat Farel—untuk menjenguk Farel.
Lain dengan itu semua, Refa masih dibingungkan dengan ini semua. Ketika empat orang itu sudah sampai di ranjang Farel, Refa masih tertahan di satu ubin setelah daun pintu masuk. Matanya masih menatap kosong ke arah Farel. Pikirannya semakin kuat berkutat dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi entah pada detik ke berapa di waktu yang akan datang.
“Refa.”
Refa berbalik dan menemukan sosok papa dan mama Farel.
“Om, Tante.” Refa mencium tangan papa Farel kemudian mama Farel.
Refa yang terlanjur lemas, malah menitikkan air matanya di punggung tangan mama Farel.
“Kamu kenapa, Refa?” Mama Farel hanya bisa mengangkat dagu Refa untuk melihat kondisinya.
“Papa!” Fara berteriak kepada papanya.
Kemudian, papa Farel menghampiri Fara untuk melihat kondisi Farel.
Keduanya baru saja pulang dari acara kantor Papa Farel. Mereka segera pulang setelah mendapat kabar dari Reza bahwa Farel masuk rumah sakit.
Mama Farel tak bisa meninggalkan Refa begitu saja. Ia juga ikut cemas melihat Refa yang malah menangis, pikiran Refa sangat kalut saat itu. Bagai dihujam beribu pedang, batinnya tak kuasa menahan ini semua.
Sakit, sesak, dan sedih menghampiri Refa bersamaan. Berusaha kuat, namun raganya tak kuasa.
“Eh, eh, Refa ….”
***
Refa membuka matanya dengan sangat perlahan. Ia sangat lemas saat ini.
Saat indra penglihatannya sudah mampu melihat sekitar, ia sudah dikelilingi Reza, Deon, dan Samuel.
“Aku pingsan?” tanya Refa. Lontaran pertanyaan yang berbeda dari biasanya, bagi orang-orang yang baru sadar.
”Iya, Refa. Sekarang gimana? Kamu pusing, gak? Kakak khawatir banget sama keadaan kamu,” ucap Reza dengan nada lemah.
“Alhamdulillah, membaik. Enggak, kok, Kak … udah gak pusing.” Refa berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Namun, selang beberapa detik Refa malah mencengkeram kepalanya kuat-kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farel dan Refa
RandomMerangkai mimpi dalam kehidupan memang sudah seharusnya kita lakukan. Walau dalam setiap langkah menggapai mimpi itu sendiri, tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Banyak momen yang tak pernah kita bayangkan dan tak pernah kita sangka menghampiri...