Menikmati Waktu

770 29 20
                                    

"Refa, semua pasti ada hikmahnya. Semuanya akan baik-baik saja. Mama tahu, impian utama kamu pergi ke Jepang, mama yakin kamu bisa gapai itu di lain waktu. Allah lebih tahu waktu yang terbaik buatmu."

Nasihat Mona terus saja terngiang-ngiang di kepala Refa saat dirinya membulatkan tekad untuk membatalkan beasiswa itu. Masih tersisa 3 hari sampai keputusan Refa benar-benar ditetapkan.

Refa semakin menimang-nimang, apakah keputusannya itu tidak akan menyisakan penyesalan yang teramat besar?

Jendela kamar Refa penuh dengan embun. Di luar, hujan begitu deras. Refa menarik selimut agar bisa menghangatkan tubuhnya. Refa mendekap boneka Teddy Bear-nya. Pikirannya berkeliaran ke mana-mana.

Tiba-tiba, Refa teringat semua kasih sayang Haris yang begitu besar kepadanya. Sosok ayah yang sangat menyayangi kedua anaknya, terutama Refa sebagai anak bungsu. Refa tahu betul sifat ayahnya yang selalu melakukan apapun demi kebahagiaan anak-anaknya.

Benar juga apa kata Haris, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Refa perlu berpikir matang untuk segala risikonya, harus selalu memikirkan kemungkinan terburuk-seperti yang selalu dinasihatkan Haris-bila ia menerima beasiswa itu.

Refa mungkin terlalu berambisi sampai-sampai terpancing emosi dan membentak Haris tanpa berpikir jernih maksud dari 'saran' yang dianggap 'larangan' olehnya.

Gemuruh di luar menjadi saksi atas kebulatan tekad Refa untuk menolak beasiswa itu. Hati nuraninya mengatakan bahwa itu yang terbaik.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu dan suara Mona menyadarkan Refa. "Masuk aja, Ma ..." sahut Refa.

Mona masuk dengan membawa cokelat panas. Refa bangkit dari tidurnya menjadi setengah duduk dan setengah berbaring. "Wah, Mama bawain aku cokelat panas. Pas banget, lagi dingin-dingin gini ...."

Mona menyodorkan cangkir itu ke tangan Refa. Tanpa basa-basi, Refa menyeruput cokelat panas buatan Mona. "Hmm, enak banget, Ma. Makasih."

Mona hanya mengelus rambut Refa lembut.

Sembari menggenggam cangkir, tebersit keinginan Refa mengutarakan hal yang menjadi keputusannya. "Ma, aku udah buat keputusan. Aku akan menolak beasiswa itu."

Mona menatap Refa tidak percaya. "Kamu yakin?"

Refa mengangguk mantap. "Aku udah pertimbangkan semuanya."

Mona memeluk Refa erat. "Mama yakin sama keputusan kamu, Refa."

***

Selepas hujan reda, Refa memutuskan bermain bersama Farel. Mereka memilih satu tempat yang dianggap cocok untuk mengisi waktu.

"Refa ... di sini enak, ya, tempatnya."

Refa mengangguk setuju sembari memandang interior kafe yang memang lucu dan sangat nyaman.

"Iya, aku suka sama tempatnya." Refa tersenyum.

"Kalau sama aku?" tanya Farel jahil.

Refa menatap Farel sembari mengangkat alisnya. "Gak lagi, deh, ya."

Farel tergelak dan mereka tertawa bersama.

"Refa, bawa buku yang aku suruh, kan?" tanya Farel setelah menyantap wafer yang ia celup ke dalam cappuccino.

Refa mengangguk, lalu merogoh tas selempangnya. Tak butuh waktu lama, Refa menyerahkan buku hariannya itu.

Dengan lihai, Farel membukanya dan menyiapkan pulpen.

Farel dan RefaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang