Pulang sekolah hari Rabu, Refa berjalan pulang dari jalan raya, di mana ia diturunkan dari angkot.
“Refa!” Refa menoleh cepat kala mendengar sumber suara yang sangat ia tunggu-tunggu saat ini.
“Farel!”
Farel menghampiri Refa yang diam menunggu Farel sampai di hadapannya.
“Kamu ngapain di sini? Gak bawa motor?” tanya Refa.
“Nggak. Udah, jangan bahas itu. Di sini, aku mau minta maaf karena sikap aku kemarin dan sekarang aku mau ucapin selamat ke kamu. Selamat, ya, atas pencapaian beasiswa ke luar negeri itu! Aku ikut seneng, Ref.”
“Makasih, Rel!”
Refa sangat senang dengan perubahan sikap Farel saat ini, kembali ceria dan menjadi sosok sahabat bagi Refa.
“Eh, ngomong-ngomong … ada yang bilang, kalo kamu lagi bingung dengan keputusan aku nanti mengenai beasiswa ini,” sindir Refa di tengah perjalanannya dengan Farel.
Farel mengumpat kecil, “Kak Deon, nih, heuh!”
“Enggak juga, tuh. Biasa aja,” tanggap Farel.
“Ngaku aja, sih, Rel. Hahahaha ….”
Langkah mereka yang beriringan terus berlanjut santai sore ini.
“Kamu udah buat keputusannya, Ref?” tanya Farel.
“Belum, nih. Kan, nunggu persetujuan kamu.”
“Aku? Kenapa?”
“Kamu orang terakhir yang aku minta buat dukung aku. Aku gak mau satu orang pun merasa terbebani dengan keberangkatanku,” jelas Refa.
“Kalau Samuel?”
“Dia pasti dukung-dukung aja.”
“Sebelum aku?”
“Kak Deon.”
“Pantesan ….”
“Pantesan kenapa?” Refa bertanya akan pernyataan Farel. Refa diam sejenak, memikirkan maksud Farel.
“Oh …. Karena Kak Deon bocorin curhatan kamu ke dia, ya? Kak Deon udah kasih tau semuanya, kok. Hahaha …. Segitu bingungnya, ya, mikirin aku? Cieee …” goda Refa sambil tertawa.
Farel diam saja ketika digoda Refa. Sampai ungkapannya membuat tawa Refa berhenti. “Aku emang bingung dan cemas, Ref.”
“Aku gak bisa hidup jauh-jauh dari kamu, Refa,” lanjut Farel.
Langkah Refa terhenti.
“Lebay!” ledek Refa.
“Gak bisa diseriusin dikit, sih. Tapi, aku beneran serius, Ref ….” Langkah Farel pun terhenti.
“Aku juga serius, Rel.” Refa menatap serius Farel.
“Serius apa?”
“Serius ngatain kamu ‘lebay!’. Hahahaha ….” Refa kembali berjalan mendahului Farel.
“Aku serius, Ref.” Farel menahan Refa.
“Aku pernah bilang sama kamu, kalo aku suka sama kamu, Refa. Jangan tinggalin aku. Tolong.” Farel menatap Refa lebih serius.
Refa yang ditatap justru merasakan sakit di dadanya. Mengapa kata-kata itu terlontar pada saat-saat seperti ini? Apa harus semuanya datang terlambat?
“Aku udah buat keputusan, Rel. Jangan buat aku bingung.” Refa melepaskan pegangan Farel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farel dan Refa
RandomMerangkai mimpi dalam kehidupan memang sudah seharusnya kita lakukan. Walau dalam setiap langkah menggapai mimpi itu sendiri, tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Banyak momen yang tak pernah kita bayangkan dan tak pernah kita sangka menghampiri...