Nestapa

642 48 24
                                    

Pak Kepsek akhirnya meninggalkan pekarangan rumah Refa. Mona dan Haris mengantar beliau sampai gerbang, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Refa dan Reza tak bercakap-cakap saat itu.

“Refa, kamu mandi dulu, ya, nanti ke sini lagi. Ada yang mau diobrolin,” titah Mona lembut.

Mendengar itu, Refa melaksanakannya dengan sigap. Seusai mandi, Refa duduk di sofa, lalu menyetel televisi dan menonton kartun dengan posisi santai.

“Refa.” Mona berdiri di samping kanan Refa.

Kepala Refa yang disangga tangannya menengadah. “Kenapa, Ma?”

“Duduk. Mama mau bicara dulu.” Refa langsung saja menurut. Lalu, Mona duduk di sampingnya.

Tangan Mona menggapai remote televisi, kemudian mengecilkan volumenya.

“Bicara apa, Ma?” Refa yang sedang duduk sila, menarik bantal dan disimpan dalam pangkuannya.

“Refa, seberapa besar keinginan kamu untuk kuliah di luar negeri?” Mona menyimpan remote lalu menatap Refa.

“Besar banget, dong, Ma! Aku menyimpan mimpi ini sejak aku SMP.”

Mona menghela napas pelan. “Tapi, kamu ngerti … kan, masalahnya?”

“Iya, Ma. Aku ngerti, tapi ... Mama juga ngerti, kan, perasaan aku? Ambisi aku?”

“Mama bisa aja izinin kamu, Sayang ….” Mona mengelus rambut Refa dengan lembut. “Tapi, keputusan akhir ada di tangan Papa.”

Refa menunduk. Ia ragu dengan keputusan papanya yang akan sependapat dengan dirinya dan Mona.

“Kamu harus optimis aja. Jangan lupa berdoa, semoga papa bisa izinin kamu, ya. Mama doakan yang terbaik untuk kamu, Sayang.” Mona mencium puncak kepala Refa.

“Mama tolong bantu aku, ya?” Mona mengangguk pelan dan Refa melanjutkan ucapannya, “Aku mohon.” Mona menatap Refa lekat-lekat, lalu tersenyum.

Selang beberapa detik, Haris masuk ke dalam rumah dengan cangkir kopi yang diyakini isinya sudah habis. Refa dan Mona menatap Haris yang terlihat fokus jalan menuju dapur.

“Ma, gimana sama papa? Mungkin … papa gak akan setuju …” lirih Refa.

Mona menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Belum tentu, Refa. Tapi … seandainya keputusan itu memang yang terbaik, kita bisa apa? Selalu terima aja, ya, Sayang.” Refa kembali menunduk dan menghela napas panjang.

Tiba-tiba, suara langkah kaki cepat terdengar dari lantai dua, semakin keras terdengar ketika mendekati tangga. Siapa lagi, kalau bukan Reza?

“Kakak! Ngapain lari-lari?” tanya Mona.

“Ini, Ma. Hh–hah ….” Reza menormalkan napasnya lalu kembali bicara, ”Nenek! Nenek meninggal, Ma.”

“Bicara apa kamu, Reza?” Mona bangkit dengan cepat dan menghampiri Reza.

“Nenek meninggal, Ma ….”

Mona yang tak sanggup menyangga beban tubuhnya, seketika ambruk ke lantai yang dilapisi karpet.

“Mama!!!”

***

“Mama … bangun, Ma.” Tangan kiri Refa mengelus-elus lengan Mona. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menggenggam tangan Mona.

Sofa tempat duduk Refa dan Mona tadi dijadikan tempat untuk Mona berbaring.

Tak lama kemudian, ada gerakan kecil dari tangan Mona. Refa yang sedang menggenggamnya sudah pasti merasakan itu. “Mah …!”

Farel dan RefaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang