Ujian

629 34 17
                                    

“Ya, udah, Pa. Batalin aja, Refa ke Jepang!”

BLAK!

Pintu rumah Refa terbanting ke dinding. Refa tersentak dengan kejadian yang seakan mendukung argumennya.

“Aduh, maaf … maaf. Ini lagi ribet,” tukas Reza yang rupanya hendak masuk ke dalam rumah.

Tangannya penuh dengan segala bawaan, seperti tas, koper, dan barang lainnya. Ia terpaksa menendang pintu sampai terbanting cukup keras.

“Ngagetin aja, kamu,” ujar Haris.

“Maaf, Pa, hehe ….”

Pandangan Haris teralihkan lagi ke arah mata Refa, lalu bertanya, ”Kamu yakin, dengan ucapan kamu tadi?”

Refa yang berapi-api langsung berujar, “Emang itu semua keinginan Papa, kan? Percuma juga, kalo Refa pertahanin keputusan Refa untuk tetap pergi ke Jepang. Sebelumnya, Refa udah nyampein keputusan Refa, tapi Papa terus nanya, bahkan sampai minta pendapat mama, dan ternyata … mama sependapat sama Refa.”

Refa menghela napasnya. “Tapi apa? Papa debat, debat, debat … pertahanin keputusan Papa. Ya, udah, lah …. Terserah apa kata Papa.” Nada ucapan Refa sedikit meletup-letup.

“Maaf, Pa, kalo ucapan Refa nyinggung hati Papa. Tapi Refa mohon … untuk saat ini, Refa butuh waktu sendiri. Cukup! Jangan bahas tentang beasiswa itu lagi.” Refa berjalan cepat menuju tangga dan menaikinya.

Haris hendak bangkit, namun Mona menahannya. “Sudah, Pa. Biarkan dia sendiri dulu.”

Refa naik ke atas dengan kondisi pandangan buram karena indra penglihatannya dipenuhi air mata. Sekuat mungkin ia tahan tangisannya, dengan bibir yang mengatup kuat dan sedikit bergetar.

Seumpama atlet yang hendak mencapai garis finish, Refa mempercepat langkahnya menuju kamar ia sendiri. Kaki dan tangannya semakin gemetar, apalagi saat ia mengunci pintu dari dalam kamar.

Refa berlari ke tempat tidurnya. Menarik guling dan meluapkan emosinya lewat tangis. Sebuah tangisan yang tak dapat dideskripsikan. Begitu perih dan sangat dalam terasa di benak Refa.

Tok tok tok ….

“Refa?” panggil Mona pelan.

“Refa? Buka, Sayang ….”

Refa bangkit, lalu berdiri di daun pintu. Sejenak, Refa masih terdiam di posisi itu.

“Refa?”

Cklek!

Refa membuka pintu dengan kondisi matanya yang sembap. Sebelum itu, Refa mengusap matanya sebisa mungkin, untuk menghilangkan jejak kesedihan yang berbentuk air mata itu. Namun nyatanya, jejak itu masih tercetak walaupun samar.

“Mama boleh masuk?” Refa mengangguk kecil.

Saat Mona masuk, Refa duduk di pinggir kasur, sedangkan Mona duduk di kursi belajar Refa. Mereka membincangkan sesuatu.

Di sisi lain, seseorang mengintip perbincangan antara Refa dan Mona.

Cukup lama mereka berbincang, Refa dan Mona turun ke lantai satu. Terlihat Haris sedang duduk sembari meminum kopi, sedangkan Reza asyik bermain laptop.

Farel dan RefaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang