2 hari berlalu.
Refa perlu mengonfirmasi perihal beasiswa itu. Walau akhirnya memang dibatalkan, tapi sudah seharusnya ia menyampaikan keputusannya kepada pihak sekolah.
Derap langkahnya begitu jelas menggema di koridor. Pagi masih buta, Refa putuskan saja untuk masuk ke dalam kelas dan seperti biasanya masih kosong.
Setelah menyimpan tas di bangkunya, langsung saja dikeluarkannya buku yang baru dibeli kemarin bersama Farel. Refa melihat terlebih dahulu sinopsis di cover belakang.
Setiap embusan napas dan pijakan takkan luput dari berbagai suasana. Kita bisa apa? Ikuti saja sesuai hatimu.
Yakinkan pada diri, bahwa itu semua anugerah yang patut diperjuangkan.
Rasa penasarannya serasa diguncang. Dengan cepat, Refa membuka halaman pertama. Matanya menyisir cepat jajaran kata di sana. Hatinya terlalu menerima setiap makna yang terkandung di dalamnya. Tak sedikit yang begitu menampar batin Refa. Rasa-rasanya, setiap kata di dalamnya itu mampu memecut dan mencabik-cabik perasaannya.
Selintas terlewat inspirasi puisi yang akan dibuat Refa untuk Farel. Tak ingin menyia-nyiakan ide emasnya itu, Refa menuliskannya di sebuah memo kecil yang selalu ia bawa ke manapun. Betapa yakin rasa percaya dirinya saat menuliskan setiap ejaan huruf idenya.
Refa melanjutkan bacaannya, namun terhenti begitu saja ketika bayangan seseorang tercetak di hadapannya. Ada orang datang dari luar.
Refa bangkit sembari menenteng buku dan menghampiri sosok itu. Sama seperti saat itu, rupanya Billy.
“Eh, elu … Bil, kirain siapa.”
Billy nampak seperti ingin menyampaikan sesuatu. Refa mengangkat alisnya penasaran. Tapi, tatapannya langsung beralih ketika tertangkap di sudut matanya ada Pak Kepsek.
“Bentar, Bil.”
Refa hendak kembali menghampiri tasnya untuk mengambil surat keputusan beasiswa. Tapi, tangan Billy seakan mencegah pergerakannya. Tangannya sembari gemetar mencengkeram lengan Refa.
“Gawat. Farel dilarikan ke rumah sakit.”
Buku yang dipegang Refa terjatuh tiba-tiba. Refa membalikkan badannya kembali menghadap Billy. “Please, lu gak usah bercanda yang gak lucu.” Refa menatap tajam Billy.
Billy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue serius, Ref.”
Refa mengempaskan cengkeraman Billy dan menunjuk-nunjuk wajahnya. “Lu salah besar! Dua hari yang lalu, gue baru main sama Farel.”
Mendengar tuduhan Refa, Billy mengacak-acak rambutnya frustrasi. Tanpa disadari, Pak Kepsek sudah menghampiri mereka berdua. Ia melihat Refa yang menunjuk-nunjuk Billy, khawatir terjadi sesuatu.
“Ada apa ini, Nak?” tanyanya.
Refa menurunkan telunjuknya dan malah tertunduk. Bingung.
Billy menjelaskan ulang apa yang tadi disampaikannya kepada Refa. Refa mendelik karena kemungkinan besar, ucapan Billy sungguh-sungguh.
***
Refa berlari sembari mengusap wajahnya yang dibanjiri air mata. Tas ransel abu masih setia menggelayuti kedua pundaknya. Rambut Refa yang diikat satu sudah berantakan bercampur keringat.
Tapi, Refa tak mempedulikan itu semua. Yang terpenting, Refa cepat-cepat sampai di ruang ICU, tempat di mana keberadaan Farel saat ini.
Kakinya lemas saat melihat Fara di sana sedang terduduk di pintu masuk ruang ICU. Dengan langkah terhuyung-huyung, Refa menghampirinya. Fara yang sadar akan kehadiran Refa, langsung menarik dan memeluknya sangat erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farel dan Refa
RandomMerangkai mimpi dalam kehidupan memang sudah seharusnya kita lakukan. Walau dalam setiap langkah menggapai mimpi itu sendiri, tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Banyak momen yang tak pernah kita bayangkan dan tak pernah kita sangka menghampiri...