Di tengah kericuhan di kelas, speaker pun tiba-tiba bersuara, “Kepada seluruh siswa kelas 7, 8, dan 9 diharap berkumpul di lapangan upacara dan berbaris sesuai dengan kelasnya masing-masing.”
Refa dan teman sekelasnya pun mengambil langkah menuju lapangan upacara.
“Refa,” panggil Farel tiba-tiba menghampiri Refa.
“Apa?” jawab Refa sedikit dingin.
“Kamu kenapa? Rasanya kayak beda gitu ke aku, apa aku salah? Maaf, ya, soal tadi, bukan maksudnya aku ngebelain—”
“Udah cukup, Rel, aku udah maafin kamu kok. Semangat, ya, sama pengantinmu.”
Refa menatap Farel sekilas.
“Udah ya, aku mau ke sana, dadah,” pamit Refa sembari memaksakan senyum di bibirnya.
Dengan sikap dirinya sendiri yang begini, entah mengapa Refa malah merasa bersalah.
Saat semua sudah berkumpul di lapangan upacara, guru yang tengah bicara di depan mempersilakan ketua OSIS alias ketos untuk sedikit berbicara atau hanya sekadar memberi semangat.
Si ketos pun mulai berbicara.
Saat di tengah pembicaraannya, Refa menengok ke depan dan baru menyadari bahwa si perebut susu itu yang sedang berbicara.
“ISSHHH!!! AWAS KAMU, YA!!!” Refa mengentak-entakkan kakinya cukup keras mengakibatkan semua tatapan menuju ke arahnya, termasuk sang ketos yang juga menghentikan ucapannya.
Putri menutup mulut Refa. “Ssttt! Malu-maluin aja kamu, Ref,” ujarnya kesal.
Guru tadi kembali mengambil mikrofon dari Deon dan berbicara dengan nada emosi, “Hey, kamu yang di sana ada apa?”
“Eung .... Put, gimana nih?” ujar Refa takut sekaligus gugup.
Refa terbata-bata sambil menyikut Putri yang dibalas angkatan bahu.
“Saya tanya, ada apa?” Guru tersebut mengulang pertanyaannya.
“Eng–enggak, kok, Pak .... Eung ... Oh! Tadi saya marah kepada kucing yang di sana,” timpal Refa sambil menunjuk seekor kucing yang tak bersalah.
“Maksudmu?” tanya guru itu tak mengerti maksud Refa, “Hah ... sudahlah. Oh ya, Deon, ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” tanya guru tersebut beralih pada Deon.
“Mungkin sudah cukup, Pak. Semangat untuk semua!” Itulah akhir ucapannya.
“Baik, semuanya siap-siap untuk keluar dari sekolah. Ikuti rombongan sekolah, informasi tambahan untuk para pengantin kelas, baris di depan kelasnya masing-masing, ya? Ada pertanyaan?”
Semuanya terdiam.
“Baik, kalau tidak ada yang ditanyakan, hati-hati di jalan.”
Akhirnya semua murid beserta guru-guru yang ikut serta untuk karnaval mulai berbondong-bondong ke luar sekolah.
“Farel.” Refa memandang Farel yang kini menjadi pusat perhatian karena mungkin mereka-lah yang paling cocok diantara pengantin kelas lainnya.
Beberapa keunikan di perjalanan membuat semua murid terpukau. Namun, lain dengan Refa yang hanya menganggap ini semua biasa saja.
Farel yang baris di depan sempat menoleh ke belakang mencari sosok Refa yang hilang dari pandangannya.
Belum sempat menoleh, Astri menyikut Farel menyuruhnya untuk tetap atur posisi.
Karnaval pun selesai dan diikuti oleh air hujan yang tiba-tiba turun. Saatnya pulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farel dan Refa
RandomMerangkai mimpi dalam kehidupan memang sudah seharusnya kita lakukan. Walau dalam setiap langkah menggapai mimpi itu sendiri, tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Banyak momen yang tak pernah kita bayangkan dan tak pernah kita sangka menghampiri...