Hari sekolah kembali dimulai. Refa berangkat pagi seperti biasanya. Earphone yang disumpalkan di telinga Refa terus mengalunkan lagu favoritnya.
Ketika asyik dengan lagu, Refa melihat Farel berjalan cepat di depannya. Saat berusaha menghampiri Farel, justru Farel berusaha menghindarinya dengan gerakan halus.
“Kenapa dia?” batin Refa.
“Rel!” Farel tetap berjalan cepat.
Sesampainya di kelas, Refa langsung menghampiri Farel.
“Rel, kamu kenapa?” Menyadari kehadiran Refa, Farel menatapnya.
“Udahlah, Ref. Aku cuman ikutin kemauan sahabatmu aja. Mungkin, kamu juga mau aku yang seperti ini, kan?” timpal Farel.
“Maksud kamu apa, Rel?”
“Kamu dan Samuel cuman mau aku enyah dari kehidupan kalian, kan? Iya … akan aku kabulkan keinginan kalian,” tandas Farel.
Refa bingung dengan sikap Farel. Apa yang dia maksud dengan ucapannya?
Akhirnya, Refa memutuskan untuk menuju ke bangkunya, lalu membuka novel dan mulai membacanya, berusaha mengalihkan pikiran dari Farel yang bersikap aneh pagi ini.
“Permisi.” Seseorang mengintip ke dalam kelas.
“Ya?” Refa menghampirinya.
“Kamu, Refa Shafiera?” tanyanya.
“Iya, aku Refa. Ada apa?”
“Kamu dipanggil sama kepala sekolah,” ujarnya.
Refa mengangguk. “Hmm … iya. Makasih infonya, ya.”
“Sama-sama. Aku duluan ….”
Refa mengangguk dan tersenyum.
Dengn segera, Refa berjalan menuju ruang kepala sekolah sendirian. Melewati koridor sekolah yang sudah mulai ramai.
Setelah sampai, Refa mengetuk pintu tiga kali. Terdengar suara ramah kepala sekolah di dalam mempersilakannya. Refa mendorong pintu sedikit, lalu mengintip situasi dan kondisi di dalam.
“Permisi,” ucap Refa sopan ketika terlihat situasi yang memungkinkan.
“Masuk.”
Refa berjalan masuk ke ruang kepala sekolah, hingga Refa dipersilakan duduk.
“Kamu yang bernama Refa?”
Refa mengangguk. “Ada apa, ya, Pak?”
Pak Kepsek tersenyum. “Ada kabar gembira untuk kamu.”
Refa hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan kepsek, menunggu kelanjutan ucapannya.
“Atas laporan dari wali kelas 10 sampai 12 sekarang, nilai kamu sampai saat ini semakin meningkat. Kamu termasuk kepada orang-orang terpilih, sehingga kamu … mendapatkan beasiswa ke luar negeri!”
Pak Kepsek menyerahkan amplop pada Refa. Refa langsung menganga, namun mulutnya ditutup oleh kedua tangannya, tak percaya dengan pernyataan kepsek tadi, juga amplop yang disodorkannya.
Refa masih belum bisa berucap. Dalam hatinya, ia berteriak keras dan tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Apa kamu bersedia menerima beasiswa ini? Negara-negara yang bisa dipilih, tercantum di surat dalam amplop itu. Kamu bisa pilih sesuai keinginanmu.” Pak Kepsek tersenyum bangga.
Ia pun melanjutkan, “Tapi ingat, keputusanmu itu harus tergantung diri sendiri dan tidak lupa disertai izin dari orang tuamu. Kami dari pihak sekolah memberi waktu sekitar 3 hari untuk keputusanmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Farel dan Refa
RandomMerangkai mimpi dalam kehidupan memang sudah seharusnya kita lakukan. Walau dalam setiap langkah menggapai mimpi itu sendiri, tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Banyak momen yang tak pernah kita bayangkan dan tak pernah kita sangka menghampiri...