1. Rapuh

1.3K 58 4
                                    

Seorang pria tengah menangis dan menatap sendu pusara didepannya. Sepi, kini suasana disekitar pemakaman. Ia telah berjam-jam sendirian dalam tangis yang penuh kebisuan. Sementara para pelayat telah beranjak cukup lama. Tak ada suara yang terdengar. Sunyi. Hanya suara angin yang berhembus semilir, hingga menggugurkan beberapa dedaunan yang mulai berjatuhan ke tanah.

Pemandangan yang cukup indah, layaknya musim gugur meski di negara dengan iklim tropis. Namun lelaki itu sama sekali tak memperdulikannya. Mungkin setelah ini ia bisa saja justru membenci musim gugur yang awalnya menjadi musim favoritnya ketika ia menghabiskan waktu di negara eropa.

Pandangan matanya tak lagi fokus. Pikirannya melayang saat-saat kebersamaannya dengan seseorang yang teramat ia cintai. Saat dimana pertama kali mereka bertemu hingga akhirnya menjalin hubungan yang penuh liku.

Tantangan mereka lalui bersama, melawan semua orang yang menghalangi dan menghadang perjalanan cinta mereka. Sampai kini takdir yang harus memisahkan mereka. Sungguh kejamkah dunia ini?
Mengapa ia tidak pernah diijinkan untuk menggapai kebahagiaan yang ingin ia miliki sepenuhnya dengan orang yang ia cintai.

Pertanyaan itu terus terngiang dikepalanya. Jiwanya telah pergi bersama dengan kepergian sang kekasih yang kini terbaring di dalam tanah.
Sebuah penyesalan besar baginya karena tak sempat bertemu untuk terakhir kalinya, bahkan hanya sekedar mengucapkan jika dirinya sungguh mencintainya.

------

Satu bulan sudah setelah kematian sang kekasih. Kehidupan pria itu kini benar-benar berantakan. Bagaimana tidak? Setiap hari ia menghabiskan malam di sebuah klub yang berada di pusat kota untuk meluapkan kesedihannya. Setiap malam berteman dengan alkohol.

"Cukup Van, kamu sudah terlalu banyak minum." Pinta Wisnu, sang sahabat yang selalu setia menemani lelaki yang diketahui bernama Revan itu.

Namun Revan masih tetap bergeming tak menjawab dan terus saja minum. Wisnu yang melihat Revan tak mendengarnya sama sekali, merasa geram. Karena kesal dan melihat Revan sudah terlalu mabuk, ia pun mengambil paksa gelas terakhir Revan sebelum pria itu meminumnya kembali.

"Aku bilang cukup." Perintah Wisnu dengan nada meninggi.

Revan masih berusaha merebut kembali gelasnya, meskipun dengan susah payah karena kesadarannya telah berkurang. Tapi usahanya sia-sia, sebab Wisnu tak akan memberikan gelas tersebut. Ia menjauhkan gelas berisi cairan kuning keemasan tersebut jauh dari jangkauan sahabatnya itu. Revan sudah benar-benar mabuk hingga kepalanya kini tergeletak di meja bar.

"Kenapa kamu meninggalkanku, Sayang. Aku tak bisa hidup tanpamu. Bawa aku bersamamu. Aku sungguh menderita. Bukankah kita pernah berjanji untuk selalu bersama apapun keadaannya, bagaimanapun dunia menentang kita. Hah?" Racau Revan dengan mata terpejam dan kepala yang sudah tidak bertenaga diatas meja.

Wisnu yang melihat Revan seperti itu, merasa iba. Sosok Revan yang dikenalnya sebagai seorang pria yang slengekan, namun berwibawa itu kini lenyap sudah. Ia merindukan Revan yang dulu. Sahabatnya yang sudah dikenalnya sejak SMA.

Wisnu tak habis pikir bila Revan sebegitu hancur karena kematian Nana. Revan masih terus meracau tak jelas di tengah hiruk pikuk suara musik yang keras hingga memekakan telinga, dengan lampu berkelap-kelip mengiringi siapa saja untuk menggerakan badan di lantai dansa.

Bau alkohol menyerang indera penciuman begitu memasuki sebuah klub mewah di pusat kota itu. Tetapi sekali lagi, tak ada yang peduli dengan hal tersebut, karena tujuan orang berkunjung ialah untuk melepas stress dengan mencari kesenangan, entah itu hanya sekedar minum atau juga berpesta ria bersenang-senang dengan cara yang lain.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang