10. Akhir dari Permulaan

287 29 7
                                    

Kesehatan Revan mulai berangsur membaik. Pria itu sudah bisa keluar ruang rawat tanpa menggunakan kursi roda. Meskipun begitu, ia masih tetap belum diijinkan untuk keluar dari rumah sakit. Pria tampan dengan tinggi 175 cm itu sekarang sudah berdiri di tengah taman. Mata elang miliknya mengamati sekeliling mencari seseorang. Begitu sudut netranya menemukan sosok yang dicari, tanpa menunggu waktu lama, Revan melangkahkan kakinya menghampiri orang tersebut.

"Saya tahu Dokter pasti disini." Sapanya langsung ketika Revan sudah berada di depan Jessica.

Gadis itu menikmati segelas matcha dengan suguhan latar pemandangan sore hari. Kandungan L-Theanine yang lima kali lebih tinggi dari teh biasa, memberikan efek rileks pada tubuhnya, ditengah berbagai perasaan yang begitu membuatnya tidak nyaman. Mengetahui ada orang lain selain dirinya di tempat itu, Jessica tersenyum dan menggeser tubuhnya, memberi isyarat Revan untuk duduk disebelahnya.

"Sepertinya kamu menganggap rumah sakit bukan tempat pemulihan, tetapi tempat untuk berjalan-jalan. Setiap hari kamu pasti keluar ruangan dengan berbagai alasan, mulai dengan alibi bosan, ingin menghirup udara segar, mencari kesibukan dengan memberi makan ikan, dan berbagai alasan lain yang kamu buat-buat." Jessica memiringkan kepala menatap pasiennya. "Mungkin julukan yang tepat untuk kamu adalah pasien pembangkang." Kelakarnya santai. Bergaul dengan pasien seperti Revan, membuatnya terkadang ikut terbawa sikap lawan bicaranya.

Revan tertawa mendengar omelan sekaligus sindiran dokter yang sudah membuatnya mengurungkan niat bunuh diri itu. Satu minggu mengenal Jessica, banyak mengubah pemikirannya sendiri.

Gadis itu kerap kali melontarkan kalimat-kalimat yang mampu membuat Revan berpikir keras. Berpikir keras bukan dalam artian Revan tidak paham akan apa yang Jessica katakan, tetapi berpikir keras untuk menyesuaikan dirinya sama seperti dengan makna dibalik kalimat yang selalu Jessica ucapkan.

Tidak butuh waktu lama untuk Revan menilai jika dokternya itu adalah seseorang yang cerdas.

Ada sebuah hal menarik dari diri gadis itu yang membuat Revan betah berbicara dengannya. Sebuah hal yang Revan sendiri tidak tahu pasti bagian menarik itu sisi yang mana. Tetapi untuk sekarang, ia tidak terlalu ambil pusing dengan hal itu, karena kini ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia luruskan dengan Jessica.

"Dokter, bagaimana hasilnya? Semua baik-baik saja 'kan?" Ia mengajukan pertanyaan yang membuatnya begitu penasaran seharian ini.

Jessica menyesap minuman favoritnya itu untuk mendapatkan ketenangan sejenak, lalu menggeleng dengan seulas senyum kecut sebagai jawaban atas pertanyaan Revan. Mendengar kabar yang tidak diharapkan, tanpa sadar bahu pria itu mendadak merosot seolah tanpa tulang.

Revan berseru mengusulkan sebuah ide yang sudah ia pikirkan sebelumnya, "Kalau Dokter mau, saya bisa membebaskan Dokter dari segala sanksi yang akan Dokter terima."

Jessica terkejut dan segera menolehkan kepala, menatap dalam mata pria disebelahnya dengan tatapan menyipit tidak suka. "Tidak semua hal bisa kamu dapatkan hanya karena kekuasaan dibaliknya." Tegasnya. Ia menarik napas sesaat sebelum melanjutkan, "Lagi pula belum ada keputusan terkait sanksi yang akan saya terima."

Revan mengerutkan dahi tidak mengerti maksud Jessica. Melihat ekspresi wajah pasiennya itu, Jessica menambahkan. "Kalau beruntung, saya hanya akan mendapat skorsing paling lama tiga bulan, tetapi andai nasib buruk yang lebih memihak, saya akan diberhentikan dengan sedikit tambahan catatan perilaku kurang baik." Selorohnya datar tanpa beban, mencoba membuat suasana lebih santai. Ia hanya tidak ingin Revan semakin merasa bersalah.

Sekali lagi, pria yang kini nampak sudah lebih berisi badannya itu dibuat tidak paham dengan Jessica. Bagaimana bisa di saat seperti ini, gadis itu masih sempat tersenyum diakhir kalimatnya mengenai kelanjutan nasibnya yang masih menggantung. Keduanya kemudian saling terdiam beberapa saat hingga sebuah suara gadis kecil terdengar.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang