Revan tersenyum begitu melihat dua tanda checklist pada pesannya.
Seorang pramugari kemudian menghampiri. "Maaf Tuan, pesawat akan segera lepas landas, oleh sebab itu untuk keselamatan penerbangan, mohon seluruh alat elektronik dinonaktifkan." pinta pramugari tersebut ramah. Mendapat teguran seperti itu, Revan menampilkan senyum permintaan maaf dan segera mematikkan ponselnya.
"Terima kasih atas kerja samanya." ucap perempuan tinggi semampai itu, yang kemudian berjalan kembali memperingatkan penumpang lain yang masih saja memainkan gadget mereka.
------
Jessica tengah mengikuti rapat bulanan Departemen Bedah Syaraf di rumah sakit tempatnya bekerja. Merasakan ponsel di sakunya bergetar, ia menarik ponsel tersebut tanpa mengalihkan fokusnya. Begitu tahu pesan itu berasal dari Revan, segera saja Jessica memusatkan perhatian pada ponsel pintarnya itu.
Selamat pagi, Dokter. Aku tahu kamu pasti sedang sibuk. Karena itu, aku tidak menelepon, takut mengganggu. Hanya ingin memberitahu jika sebentar lagi pesawatku akan lepas landas. Tidak perlu khawatir atau takut terjadi sesuatu padaku. Karena Tuhan akan melindungiku. Setibanya Di Jepang, aku akan segera menghubungimu. Dan lagi, kamu tidak perlu membalas pesanku ini.
Baiklah. Akan aku tunggu.
Meskipun Jessica tahu jika kini ponsel Revan sudah mati dan baru akan aktif beberapa jam lagi, namun ia masih membalas pesan tersebut. Setelahnya, Jessica kembali mencurahkan perhatian sepenuhnya pada white screen di depan ruangan. Meskipun ia berusaha untuk konsentrasi, namun masih saja sebagian pikirannya terpaku pada Revan.
------
Waktu menunjukkan pukul 10.00 PM, itu tandanya sudah 13 jam semenjak pesawat Revan take off. Menurut jadwal, seharusnya pukul 04.00 PM pesawat itu sudah tiba di bandara Narita. Sayangnya, hingga kini sama sekali tidak ada tanda-tanda Revan menghubungi Jessica.
Ia sudah pulang dari rumah sakit tiga jam lalu. Hari itu cukup melelahkan untuknya. Ingin segera memasuki alam mimpi, tetapi sepertinya kantuk belum akan menyerang. Apa lagi bila bukan karena Revan. Rindu? Nyatanya, ia lebih mempercayai jika dirinya tengah khawatir.
Laki-laki itu membuat Jessica kini kalang kabut. Merasa tidak tenang dan dilanda kekhawatiran yang teramat, ia memutuskan untuk menghubungi lebih dulu. Tetapi, ponsel Revan masih juga tidak aktif. Tentu saja ini semakin membuat Jessica berpikiran macam-macam. Perasaannya benar-benar kacau. Namun, dirinya berusaha untuk tetap tenang dan tidak berpikiran macam-macam seperti apa yang dikatakan Revan.
------
Hari selanjutnya masih tetap sama. Tidak ada kabar dari Revan. Ini membuat Jessica uring-uringan sepanjang hari. Meskipun ia berusaha untuk tetap profesional sebagai dokter, namun tetap saja, ia tidak bisa menyembunyikan perasaan jengkelnya itu. Ditambah dengan dirinya yang memiliki jadwal untuk hadir dalam agenda rutin Persatuan Dokter Bedah Syaraf Indonesia (Persebsi).
Sesungguhnya dirinya sangat malas untuk menghadiri kegiatan tersebut, namun sangat disayangkan jika dirinya tidak datang pada acara yang rutin diselenggarakan enam bulan sekali itu. Selain karena jarang diadakan, Jessica juga ingin lebih banyak menimba ilmu dengan dokter bedah neurologi lain yang jauh lebih berpengalaman darinya.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk menghadiri acara tersebut. Siapa tahu moodnya kembali membaik. Sayangnya harapannya salah. Bagaimana tidak, selama acara berlangsung, yang ada semua peserta dibebaskan. Tidak seperti biasanya yaitu seorang dokter bedah neurologi yang terpilih akan maju ke podium untuk menceritakan pengalamannya selama menangani pasien. Tentu saja dokter tersebut adalah mereka yang sudah berpengalaman menangani berbagai kasus penyakit pasien. Dan pada sesi tersebutlah, yang menjadi alasan utama gadis itu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Rasa
RomanceKejadian empat tahun lalu meninggalkan torehan luka yang masih menganga dalam diri Jessica. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma yang terus menghantui. Berpikir sulit baginya untuk kembali merasakan cinta dan memulai sebuah hubungan yang baru. Te...