37. Satu Rasa

514 31 20
                                    

Jessica dan Revan kini berada di salah satu ruangan di lantai tujuh yang masih berada di gedung yang sama. Mereka membutuhkan tempat yang lebih privasi untuk menyelesaikan kisah yang masih menggantung. Pria itu mengajak Jessica meninggalkan acara, ada banyak hal yang harus ia katakan. Namun sayangnya setelah beberapa menit berlalu, mereka masih tetap bungkam. Keduanya berdiri bersisihan menghadap jendela yang menampakan kepadatan jalan diluar sana.

"Bagaimana kabarmu?" Revan mulai membuka suara.

Kepalanya menoleh untuk menatap gadis yang selalu memenuhi pikirannya setahun terakhir itu. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Gadis itu sekarang sudah ada dihadapannya. Nyata. Satu tahun sudah cukup baginya melepas Jessica jauh dari jangkauannya. Satu tahun sudah cukup baginya untuk merasakan kerinduan pada gadis itu. Kerinduan yang setiap hari selalu membuncah. Kerinduan yang selalu ia jadikan alasan untuk tetap hidup dengan normal karena keyakinan untuk bisa kembali menemui Jessica suatu saat nanti.

"Aku dalam keadaan baik seperti yang kamu lihat." Jessica tersenyum pada laki-laki yang berdiri disampingnya. Kegugupan nampak jelas terlihat dari suaranya. Ia masih merasa seperti mimpi bisa kembali berhadapan dengan pria yang menjadi alasannya untuk menjalani semua rangkaian terapi sampai selesai.

Revan terhenyak seketika setelah mendengar suara yang amat dirindukannya. Mengamati gadis itu sekali lagi, memindai pelan-pelan dari atas ke bawah. Setidaknya ia mencoba memastikan bahwa pandangan dan pendengarannya tidak salah. Pria itu berharap ia sedang tidak berhalusinasi atau bermimpi.

Melihat tatapan yang diarahkan padanya, Jessica menaikkan alis bingung. Saat Revan hendak membuka suara kembali, Jessica sudah lebih dulu mendahuluinya. "Aku sudah mampu mengatasi traumaku. Dokter juga menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kesehatanku. Semuanya baik-baik saja." terang Jessica kembali memperjelas ucapan sebelumnya.

Revan menghembuskan napas lega. Lega untuk segalanya. Lega karena gadis yang selama satu tahun ini membuatnya kacau sudah berada dalam jarak pandangnya. Lega karena kini ia bisa kembali mendengar suaranya. Lega atas kesehatannya yang membaik. Dan lega karena rasa rindunya sudah terobati. Ia mendapati dirinya mulai mendapat angin segar.

"Kalau kamu bertanya bagaimana kabarku, aku tidak dalam keadaan yang baik. Tidak sebelum aku bisa melihatmu kembali." ucapnya lembut. Menatap dalam mata hazel milik lawan bicaranya. Mata yang selalu membuatnya ingin terus tenggelam dalam iris merah kecokelatan itu.

Jessica memilih diam. Ia tahu jika Revan masih akan melanjutkan kembali ucapannya.

"Satu tahun ini waktu yang sangat lama bagiku dan ku pikir itu cukup untukmu meyakinkan dirimu sendiri seperti yang kamu inginkan." Revan menghentikan ucapannya sejenak. "Apa yang aku katakan saat terakhir kita bertemu, aku meyakininya benar. Perasaan ini tidak pernah berubah sedikit pun dan justru semakin membuncah." ungkapnya dalam penuh keseriusan.

"Revan-" Jessica hendak membuka suara, namun jari Revan lebih dulu menempel di bibir Jessica. Menghentikan kalimat yang akan gadis itu sampaikan.

"Kamu cukup mendengarkan pengakuanku." Jessica mengangguk mengerti akan permintaan Revan.

"Satu tahun terakhir masa sulit untukku. Aku tidak menyalahkanmu atas meninggalnya Nana. Sempat terlintas untuk bunuh diri dan aku hampir saja mati saat itu. Tapi kamu datang di saat yang tepat. Lalu semuanya berjalan kembali seperti sedia kala. Sampai aku sendiri tidak menyadari ada perasaan lain yang mulai muncul. Aku terlalu bodoh untuk memahaminya. Kamu pergi dan nyatanya keadaanku lebih kacau dari sebelumnya." jelasnya pelan tetapi cukup untuk mengutarakan semua kegundahannya.

Air mata menggenang di pelupuk mata Jessica. Perlahan bulir air mata itu jatuh juga akhirnya. Ia gunakan ujung jarinya untuk menghapus jejak basah di pipinya. Tangan Revan terulur menyentuh wajah gadis itu, menghapus sisa air mata yang masih ada disana. Merasakan halusnya pipi itu. Menyentuhnya untuk menyakinkan diri jika Jessica yang berdiri di depannya bukanlah ilusi semata.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang