7. Dokter dan Pasien

358 32 3
                                    

Setelah berkutat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Revan memutuskan menemui Jessica untuk meminta maaf. Ia bangun susah payah dari brankarnya dengan membawa infus di tangan kanannya. Lalu berjalan pelan-pelan karena ia merasakan tubuhnya masih lemah. Revan bingung hendak mencari Jessica kemana. Hingga dilihatnya ada seorang perawat tidak jauh dari sana dan Revan bertanya kepadanya.

Setelah mendapat jawaban seperti yang di harapkan, kaki lemahnya segera melangkah menuju tempat yang sudah ditunjukkan perawat. Beruntung dari posisinya saat itu dekat dengan lift. Tidak lama, akhirnya Revan tiba di atap rumah sakit yang berada di lantai 21. Cukup melelahkan untuknya mencapai lokasi itu mengingat kondisinya yang masih rentan.

Ia mengedarkan pandangan dan menemukan sosok yang dicarinya tengah berdiri dalam diam dengan tangan yang bersembunyi di dalam kedua saku jas seraya menatap langit malam kota Jakarta. Revan mengatur napasnya sejenak. Dirinya tidak menyangka tenaganya terkuras habis hanya untuk mencapai tempat itu. Nafasnya masih tersengal, dengan peluh yang membasahi wajahnya. Begitu paru-parunya sudah tidak lagi rakus oksigen, pria itu berjalan menghampiri Jessica.

"Saya sungguh minta maaf atas sikap dan kata-kata saya pada Dokter tadi." Sesal Revan begitu dirinya sudah berdiri disebelah Jessica. "Saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaan Dokter."

Jessica menoleh saat menyadari pasiennya yang tadi sempat mengajaknya berdebat sudah berada tepat disampingnya. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Revan disana. "Tidak ada yang salah. Lagi pula apa yang Anda bicarakan itu memang benar." Jessica tersenyum sekilas. Lalu kembali menatap hamparan langit luas yang berhias jutaan pendar titik-titik cantik.

"Dokter tidak marah pada saya?" Revan bertanya hati-hati.

"Untuk apa saya marah?" Jawab Jessica yang membuat Revan lega. Dalam hati gadis itu tidak menyangka jika pasien aneh tersebut berani menemuinya hanya untuk minta maaf. Suasana menjadi canggung karena keduanya memilih diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Hanya ada hembusan suara angin di sekitar. Tepat sekian detik kemudian, Jessica menyadari sesuatu.

"Tunggu, Anda kesini tidak menggunakan kursi roda?" Tuduh Jessica cepat yang membuat Revan kaget karena tiba-tiba Jessica berucap sedikit keras setelah cukup lama terdiam.

"Saya terburu-buru dan tidak sempat menemui perawat." Jawab Revan berbohong. Jelas-jelas tadi dirinya tidak sengaja berpapasan dengan perawat dan jika saja bukan karena perawat tersebut, mana mungkin dirinya sampai di tempat itu.

"Astaga, Anda ini masih sakit dan belum boleh banyak bergerak. Dasar ceroboh." Omel Jessica. Sedang Revan masih bingung dengan perubahan sikap dokter di depannya. Jessica menarik Revan untuk duduk di bangku ujung bangunan. "Lebih baik kita duduk di sini sebentar, sambil memulihkan kembali tenaga Anda yang terkuras untuk sampai ke atap rumah sakit ini."

Revan hanya menuruti kata Jessica. Benar apa yang dikatakan dokternya tersebut, jika dirinya butuh waktu sejenak untuk beristirahat. Ia merasa tubuhnya begitu lemah saat itu. Sekalipun menaiki lift, untuk seseorang yang jelas-jelas sedang sakit, lama berdiri dan dipaksa berjalan, tentu akan membuatnya merasa cepat kelelahan.

Keduanya lantas duduk bersebelahan. Jessica melepas jas yang dipakainya, lalu menyerahkannya pada pasien aneh yang kini duduk bersamanya itu. "Pakai ini. Udara malam tidak bersahabat untuk Anda yang masih sakit."

Nampak lipatan di dahi Revan mendengar kalimat yang keluar dari gadis yang sangat membenci mentimun tersebut. Bukannya tidak mengerti maksud Jessica, hanya saja ia masih bingung harus memberikan respon seperti apa. Ayolah, Revan adalah seorang pria, makhluk dengan ego yang tinggi. Apa yang dilakukan Jessica, tentu akan sedikit melukai egonya sebagai pria dewasa.

Untuk beberapa saat, netra Revan menatap jas yang disodorkan padanya dan Jessica bergantian. Ekspresinya menyiratkan ketidaknyamanan akan situasi tersebut. Melihat tidak ada reaksi dari pria itu, Jessica bergeser lebih dekat lantas menyelimuti punggung Revan dengan snelli miliknya.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang