"Aku minta maaf atas sikapku kemarin, Sica." Tiffany sangat tahu bagaimana Jessica, begitupun sebaliknya. Tanpa meminta maaf dengan cara formal sekalipun, Jessica pasti akan memaafkannya. Meski begitu, Tiffany merasa bahwa ia tetap perlu untuk meminta maaf secara langsung atas semua perkataannya kemarin.
Jessica tersenyum mendengar permintaan maaf sahabatnya itu. Tidak ada yang ia ucapkan untuk membalas kalimat Tiffany baru saja. Kedua tangannya terulur menarik sahabatnya itu mendekat, memeluknya kemudian. Melepas sekat diantara mereka yang terbentuk satu hari yang lalu.
"Ehm.. aku juga sangat berharap kamu mulai fokus untuk menjalani psikoterapi itu. Kamu adalah seorang dokter, bagaimana bisa kamu membiarkan kesehatanmu sendiri menurun, sementara kamu berusaha membuat orang lain untuk tetap sehat." ungkap Tiffany lembut namun juga serius menandakan perhatian dan kekhawatirannya akan kesehatan Jessica.
Seketika Jessica berubah menjadi sendu. "Kita sudah pernah bahas tentang ini, Tiff."
"Tapi aku tetap ingin kamu mengubah keputusanmu itu. Apa kamu pernah berpikir karirmu sebagai dokter bisa saja terancam? Bisa saja suatu saat ijin praktekmu akan dicabut. Aku yakin kamu lebih paham dengan itu." Tiffany tetap mendesak supaya Jessica mengubah pikiran bodohnya agar bersedia melakukan psikoterapi.
Tidak ada respon lebih lanjut dari Jessica. Namun Tiffany tahu sahabatnya itu kini sedang merenungkan apa yang baru saja ia ungkapkan. Tiffany berdoa dalam hati agar Jessica bisa mengubah keputusannya. Ia tahu bahwa profesinya sebagai dokter adalah impian Jessica semenjak SMA, jadi tidak mungkin bagi gadis itu untuk melepasnya begitu saja setelah berhasil mencapai gelar spesialis bedah syaraf yang baru dua tahun ini ia sandang.
------
Dengan bantuan seorang perawat, Jessica kini sudah berada di ruang kerjanya. Menyalakan laptop, kemudian memasukkan kode akses yang sudah dihafalnya dan setelahnya mengetikkan no ID atas namanya sendiri. Terdengar menggelikan memang, melihat sendiri hasil pemeriksaannya. Tetapi ia butuh memastikan segera apa yang menjadi kekhawatirannya.
Sejak semalam Jessica merasakan mual dan muntah. Setiap makanan yang dirinya coba masukkan, pasti akan dimuntahkannya kemudian. Apa yang ia alami itu cukup mengganggu pikirannya. Oleh karenanya siang hari itu Jessica berniat mencari tahu penyebabnya. Gadis itu berharap bahwa dugaannya salah. Selama beberapa menit Jessica membaca dalam diam rekam jejak perawatan medis yang ia terima, mulai dari hasil pemeriksaan terakhir hingga riwayat pemberian obat.
Helaan napas lelah terdengar kemudian, tangan kanannya yang semula bergerak dalam mouse, seketika terdiam. Pelan ia menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. Kedua jarinya memijit pelipis, berusaha untuk lebih rileks. Tangannya yang lain membuka laci dan mengambil botol obat dari sana, memutar-mutar botol tersebut tanpa bertenaga.
Nyatanya apa yang menjadi dugaannya memang benar. Jessica tidak menemukan keanehan hasil pemeriksaannya, pun dirinya tidak melihat obat-obatan yang diterimanya memberikan efek samping mual dan muntah seperti yang ia rasakan. Pemeriksaan itu menunjukan dirinya baik-baik saja. Dan itu sudah cukup untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang mendukung hipotesanya sendiri. Kalimat Dokter Mirna, dokter spesialis kejiwaan yang juga menjadi dokter pribadinya selama delapan bulan terakhir, kembali terngiang di telinganya.
------
Jasmine berjalan tergesa memasuki sebuah gedung perkantoran dengan membawa satu dokumen di tangan. Ia sudah melupakan sopan santun yang harus dilakukannya. Peduli apa dirinya dengan hal itu. Baginya yang terpenting saat ini adalah membuka kenyataan lain yang tidak diketahui orang yang akan segera ditemuinya. Kenyataan yang pasti akan membuat pemikiran terhadap kakaknya berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Rasa
RomanceKejadian empat tahun lalu meninggalkan torehan luka yang masih menganga dalam diri Jessica. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma yang terus menghantui. Berpikir sulit baginya untuk kembali merasakan cinta dan memulai sebuah hubungan yang baru. Te...