Jessica terpeleset jatuh ke bawah. Genggaman pada tangan Revan terlepas begitu saja. Karena kejadiannya begitu cepat, Revan tidak sempat menahannya. Terdengar suara rintihan kesakitan, mengikuti sebuah suara menabrak benda keras sebelumnya. Revan segera bergegas turun tanpa pikir panjang.
"Kamu tidak apa-apa, Jessica?" tanyanya begitu ia sudah berjongkok dihadapan gadis yang kini terduduk dengan kaki selonjor dan tangan yang memegang pergelangan kaki kirinya. Nampak dari ekspresi wajahnya yang tengah menahan sakit. Meskipun dengan penerangan sederhana, namun Revan masih dapat melihatnya.
"Apa kamu masih bisa berjalan?"
"Akan saya coba." Jessica berusaha untuk berdiri.
Namun belum juga dirinya berdiri sempurna, sudah terjatuh kembali. Tepat saat itu, tangan Revan berhasil menahan punggungnya. Dituntunnya Jessica untuk duduk sejenak. Gadis itu menautkan kedua alis, ketika Revan berjongkok di depannya dengan posisi membelakangi dirinya.
"Naiklah ke punggung saya. Kamu tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kondisi kaki yang seperti itu." ucap Revan sembari menepuk punggungnya dan menoleh ke belakang.
Tidak punya pilihan, Jessica menuruti perkataan pria itu. Mereka berjalan menaiki tanjakan yang tadi sudah berhasil ditempuh setengahnya. Namun, keduanya kini harus memulai kembali dari awal. Dengan satu tangan memegang ponsel sebagai sumber cahaya, juga membawa beban di punggungnya, sementara jalan yang terus menanjak, membuat Revan sedikit kesulitan. Dirinya dituntut untuk konsentrasi berkali lipat lebih banyak.
Jessica yang mengetahui itu lantas berkata, "Biar saya yang membawa ponselnya. Kamu sangat kerepotan sekali dengan itu."
Satu jam kemudian, sampailah mereka di titik awal. Keduanya duduk di bangku panjang sebuah rumah makan sederhana di tempat tersebut. Kedua kaki Jessica diluruskan di atas paha Revan. Awalnya Jessica merasa risih dan tidak nyaman dengan itu, namun Revan tetap menahan kakinya pada posisi seperti itu.
"Meski saya bukanlah dokter sepertimu, tapi saya cukup tahu bagaimana cara mengatasi kaki terkilir. Maka dari itu tahanlah sebentar saja, sebab ini akan sedikit sakit." Revan meraba pergelangan kaki Jessica, mencari letak sendi yang bermasalah. Entah apa yang dilakukannya kemudian, namun seketika Jessica berteriak kencang. Saking sakitnya, tidak sadar ia menangis. Dipegangnya erat kursi yang didudukinya, untuk setidaknya membantu mengurangi rasa sakit yang mendera.
"Sudah." Dilihatnya ekspresi gadis di hadapannya. "Ah, kamu menangis. Sangat lucu." sambung Revan, yang kemudian tertawa kecil.
"Ini namanya sakit sekali, bukan sedikit seperti apa yang kamu bilang." Jessica menghapus air matanya seraya memberengut.
"Apa kamu merasa lebih baik sekarang?"
Jessica menggerak-gerakkan kaki kirinya. Lalu mengangguk, "Tidak sesakit tadi."
"Syukurlah." Revan menarik napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, "Maaf, karena saya, kamu jadi seperti ini." sesal Revan yang merasa bersalah telah mengajak gadis itu dalam kesulitan hingga menyebabkan kakinya terkilir.
"Mengapa kamu meminta maaf? Sama sekali bukan salahmu, ini murni karena saya yang ceroboh. Justru saya ingin mengucapkan terima kasih karena dirimu telah menunjukkan tempat seindah ini." jelas Jessica yang tidak membenarkan permintaan maaf Revan padanya.
"Kamu mengenal beberapa tempat baru karena saya, bukan?" tanya Revan yang dijawab dengan anggukan dan senyuman kecil dari Jessica.
------
Hubungan Jessica dan Revan mengalami perubahan setelah itu. Tidak jarang keduanya bertemu, sekedar untuk makan bersama atau jalan-jalan saja. Komunikasi pun intens mereka jalin. Beberapa kali bahkan Revan sengaja menemui Jessica di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Rasa
RomansaKejadian empat tahun lalu meninggalkan torehan luka yang masih menganga dalam diri Jessica. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma yang terus menghantui. Berpikir sulit baginya untuk kembali merasakan cinta dan memulai sebuah hubungan yang baru. Te...