16. Serpihan Masa Lalu

228 32 1
                                    

Tanpa sebuah perjanjian lebih dahulu, Revan menghampiri Jessica di rumah sakit. Lantaran sudah beberapa hari terakhir keduanya tidak bertemu karena sama-sama sibuk. Masih mengenakkan setelan jas armani, Revan berjalan tergesa menuju ruangan Jessica. Mengejutkan sang dokter yang tengah membaca data medis pasien.

"Revan? Mengapa kamu kesini?" tanya Jessica sembari menutup map hijau di atas meja kerjanya.

Revan memilih duduk di kursi yang ada di hadapan meja Jessica lebih dahulu sebelum menjawab. Menatap gadis itu sejenak. "Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanyanya balik, mengabaikan pertanyaan Jessica.

"Aku masih harus membaca beberapa data rekam medis pasien."

Revan mengangguk paham, "Kalau begitu aku akan menunggumu hingga usai." putus Revan setelahnya.

Ia mengintip tumpukan dokumen yang tergeletak di meja. Dahinya berkerut, membaca deretan angka lab disertai beberapa gambar yang tidak ia mengerti. Pria itu kembali mengangkat kepala, ketika merasa ada sepasang mata yang masih menatapnya.

"Kamu tidak keberatan jika menemaniku makan malam, bukan?" Revan mengerti maksud tatapan yang dilayangkan padanya.

Jessica menghembuskan napas kasar. "Mengapa tidak menghubungiku sebelumnya? Aku 'kan bisa menyelesaikan ini lebih cepat, tanpa kamu harus menunggu seperti ini."

"Baiklah..baiklah. Lain kali aku akan memberitahumu lebih dahulu." balas Revan yang mengakui kesalahannya.

Jessica melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sementara untuk menghilangkan kejenuhan, Revan memilih mendengarkan musik dengan earphone dari ponselnya sembari sesekali melirik kearah Jessica, memperhatikan gadis itu.

Tidak lama setelahnya, mereka sudah menuju ke restoran di salah satu hotel di Senayan. Sebuah restoran yang menyajikan menu khas makanan Jepang.

"Apa kamu tahu, aku pusing melihat tulisan-tulisan yang tidak ku pahami mengenai hasil pemeriksaan pasien tadi?" Revan membuka suara setelah selesai menyebutkan pesanan makanan. Jessica pun tertawa mendengarnya.

"Tentu saja, itu karena kamu bukanlah seorang dokter. Aku pun juga sama sepertimu jika membaca dokumen-dokumen milikmu."

Revan mengangguk membenarkan. "Jadi, itu yang kamu kerjakan setiap harinya, membaca data-data pasien? Terdengar sangat membosankan."
"Jika aku tidak melakukannya, bagaimana aku bisa mengetahui penyakit pasienku, lalu menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Hanya saja hari ini memang lebih banyak dokumen pasien yang harus ku pelajari, sebab mulai besok sampai satu minggu ke depan, aku ditugaskan untuk praktek di rumah sakit lain menggantikan dokter neurologi di sana yang sedang ambil cuti."

"Begitu rupanya. Aku juga-" Revan menghentikan ucapannya tepat ketika seorang pelayan datang. Usai menyajikan makanan di meja, pelayan tersebut pergi setelah mempersilahkan pelanggannya untuk mulai menyantap makanan yang sudah di depan mata dengan bahasa Jepang.

"Aku juga apa, Revan?" tanya Jessica begitu ingat apa yang akan diucapkan Revan sebelum terhenti tadi.

"Bukan apa-apa. Sebaiknya kita makan saja dulu mumpung masih hangat."

Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya. Mereka memilih menikmati makanan yang telah tersaji. Selesai makan malam, keduanya memutuskan untuk langsung pulang. Revan mengantarkan Jessica, karena kebetulan hari ini Jessica sedang tidak membawa mobil. Tadi pagi dirinya berangkat kerja menumpang Chandra. Tidak, lebih tepatnya memaksa pria itu untuk menjemputnya. Padahal Chandra ingin menemui sang kekasih lebih dahulu. Tetapi karena paksaan Jessica, rencananya gagal sudah. Dan malam ini beruntunglah Chandra karena dirinya bisa pergi dengan pacarnya tanpa gangguan Jessica.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang