4. Salam Perpisahan

290 31 2
                                        

Revan menolehkan kepala kekanan kekiri. Melihat sekeliling. Ia sama sekali tidak mengenal tempat itu. Semuanya serba putih. Seakan kini berada di sebuah lorong waktu. Sepi, sunyi, senyap. Itulah yang Revan rasakan. Ia berteriak memanggil siapa saja yang ada disana. Namun yang Ia dapat hanya pantulan suaranya sendiri.

Pria itu berlari, berharap menemukan ujung dari ruangan itu dan bisa keluar secepatnya. Lama Ia berlari tapi sama saja, dirinya masih terjebak di sana. Hingga terdengar suara yang amat Ia kenal dan rindukan memanggil namanya. Revan mencari sumber suara itu berasal, hanya satu yang Ia inginkan sekarang, bertemu dengan pemilik suara tersebut.

"Sayang..Nana..dimana kamu?" Teriak Revan.

"Aku ada di belakangmu." Jawab suara itu. Mendengarnya, Revan segera berbalik dan benar saja Ia melihat sosok itu didepannya sekarang. Tanpa berpikir panjang Ia berlari mendekat dan memeluk erat sosok yang ternyata adalah kekasihnya, Nana.

"Aku merindukanmu, Na. Sangat." Ucap Revan tanpa melepas pelukannya. Nana hanya tersenyum. "Mengapa kamu meninggalkanku sendiri?" Tanya Revan seraya melepas pelukan itu dan kini tengah menatap intens mata kekasihnya. Beban pikiranya lenyap sudah begitu saja ketika Ia bersama gadis itu.

"Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku selalu ada dihatimu." Ucap Nana, tangan kirinya mengelus pelan dada Revan seolah menunjukkan tempat Ia berada.

"Aku benar-benar merasa tidak berguna tanpa adanya dirimu disisiku." Ujar Revan. Kedua tangan itu kini menangkup wajah Nana.

"Ssst.." Telunjuk Nana menempel di bibir Revan menghentikannya berbicara. "Bagaimanapun juga kamu harus melanjutkan hidup tanpa aku. Akan ada seseorang yang jauh lebih mencintaimu dan mampu membahagiakanmu sepenuhnya. Seseorang yang telah Tuhan siapkan untukmu." Kata Nana meyakinkan Revan.

"Aku hanya menginginkanmu, bukan yang lain, karena bagiku hanya dirimulah yang mampu memahami dan mengerti kondisiku. Apa kamu tidak merindukanku?" Selidik Revan.

"Sama sepertimu, Aku sangat merindukan kekasihku ini." Nana menjawab dengan senyum yang mampu menenangkan hati Revan.

"Bawa aku pergi bersamamu." Ucap Revan lirih.

"Tidak bisa Van, dunia kita sekarang berbeda. Aku bahagia disini. Dan kamu berbahagialah pula disana. Jangan seperti ini. Berjanjilah padaku untuk hidup lebih baik. Maafkan aku, tapi aku harus pergi sekarang juga." Kata Nana sambil melepaskan tangan Revan dikedua pipinya. Nana berjalan mundur namun tangannya masih digenggam erat Revan.

Ia sama sekali tidak membiarkan Nana pergi dari hadapannya. Namun genggaman itu lepas juga akhirnya. Nana berjalan menjauhi Revan. Ia berniat lari menyusul kekasihnya itu, namun entah apa yang terjadi seakan kakinya sulit untuk digerakkan. Dari tempatnya berdiri Revan hanya mampu melihat Nana semakin lama semakin menjauh dan tidak terlihat lagi.

------

Kembali lagi di ruang operasi. Layar elektrokardiograf yang merekam denyut jantung pasien yang baru saja meregang nyawa sekarang telah memperlihatkan garis segitiga dengan suara stabil pertanda jika Ia telah bernapas kembali. Jessica bernapas lega karenanya. Usai memastikan semuanya dalam keadaan baik, Jessica masuk ke sebuah ruangan. Dimana Ia mengganti pakaiannya kembali. Melepas segala atribut kebutuhan operasi yang Ia gunakan.

Setelah memastikkan bila dirinya telah bersih, Jessica melihat jam yang tergantung di dinding. Betapa kagetnya Ia yang tidak menyadari bila sudah lewat tengah malam. Dan Ia telah melupakan satu hal. Apalagi kalau bukan janjinya untuk makan malam bersama Jasmine. Segera Ia masuk ke ruang kerjanya dan mengambil IPhone di atas meja.

Ia mendesah, begitu membaca ada 10 panggilan tidak terjawab. Ya. Dari Jasmine, siapa lagi. Mungkinkah Jasmine masih menunggunya.

"Ah lebih baik aku meneleponnya saja sekedar memastikan." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang