Kebiasaan setiap akhir bulan selama setahun terakhir ini, Jessica rutin mengunjungi makam Ares. Seperti hari itu, dengan dress selutut di tambah blazer cokelat, tidak lupa kacamata hitam yang bertengger untuk melindungi matanya dari terik matahari yang mulai merangkak menjelang siang. Ia langkahkan kaki di tengah luasnya tanah padat pemakaman. Meski itu bukan kali pertama untuknya, tetapi baginya menginjakkan kaki di sana tetap selalu butuh kekuatan berlebih.
Dedaunan berterbangan menyambut kedatangannya. Tepat ketika sudah pada tujuannya, Jessica berjongkok lalu membersihkan daun yang jatuh berguguran di sekitar makam Ares setelah meletakkan bunga disana.
Mengusap nisannya pelan. Sudah bertekad untuknya tidak menangis, namun hal itu tidak bisa ia hindari. Setetes bulir air mata jatuh begitu saja tanpa aba-aba. Belum sempat ia mengusapnya, sudah disusul dengan ratusan air mata yang lain. Membuatnya tidak sanggup lagi menahan perasaan sesak dalam hatinya. Wajahnya memang banjir air mata, tetapi tidak ada isak tangis di sana.
"Bagaimana kabarmu, Res?" Lirihnya pelan, menahan hentakan kuat dalam dada. "Seperti yang kamu lihat disana, aku selalu sehat." Jessica tersenyum sekilas mencoba menenangkan kembali gemuruh hatinya.
"Ku harap kamu juga selalu baik. Yang ku dengar di surga banyak bidadari cantik. Apa mungkin kamu sudah berhasil memiliki satu diantaranya? Katakan padaku kalau mereka semua tidak lebih cantik dariku." Ucapnya dengan tawa hambar di akhir kalimat.
"Apa kamu juga merindukanku? Aku pikir air mataku sudah kering karenamu, tapi tetap saja aku menangis setiap kali ingat saat ini dirimu tidak lagi disisiku. Tidak lagi bersamaku. Jangan tanya bagaimana kehidupanku tanpamu. Kamu tahu, aku sempat marah padamu. Kamu bilang tidak akan meninggalkanku sendirian, tetapi nyatanya justru kamu membiarkanku berjalan seperti anak kecil yang kehilangan pegangan. Bukan hal mudah untukku menerima keadaan yang berat seperti ini. Aku gadis yang rapuh dan kamu tahu itu. Empat kali musim gugur aku lewati tanpa dirimu. Musim kesukaan kita. Aku...aku mencintaimu, Res." Ucapnya terbata karena tenggorokannya yang tercekat.
Kini dirinya sudah terisak tanpa bisa lagi ia cegah. Bahunya bergetar seiring dengan derai air matanya. Napasnya terputus, serasa oksigen mendadak menguap begitu saja tanpa tersisa sedikitpun baginya. Butuh beberapa saat untuknya menahan diri agar tidak lepas kendali.
Merasa sudah mampu mengendalikan berbagai perasaan dan emosi yang kembali menghentak dadanya, Jessica berdiri, yang kemudian memakai kembali kacamatanya untuk menyamarkan matanya yang merah dan sembab. Ia tersenyum sesaat seraya menatap pusara Ares, sebelum akhirnya melenggang pergi dari tempat itu menuju ke tempat dimana mobilnya terparkir.
"Dokter." Panggil seseorang yang membuat Jessica menoleh ke sumber suara. Jessica mengangkat sebelah alisnya, ketika orang tersebut berjalan kearahnya dengan setelan jas hitam dipadukan kaos putih polos, juga mengenakan kacamata hitam sama sepertinya.
-----
"Bagaimana kabar Dokter?" Tanya pria yang tadi menghampiri Jessica.
Kini keduanya tengah makan siang bersama di sebuah kafe di tengah pusat kota. Tidak ada salahnya untuk menghabiskan sisa siang ini bersama. Melupakan sejenak kegundahan yang baru saja menyeruak di hati mereka. Pertemuan yang tidak disengaja di tempat yang menyimpan jutaan perasaan rindu pada diri masing-masing. Mereka memilih duduk di pojok ruangan untuk menghindari keramaian pengunjung. Wajar bila kafe itu dipenuhi pengunjung lainnya, selain karena jam makan siang juga tempatnya yang cukup strategis.
Kafe dengan desain back to nature itu selalu menjadi pilihan mereka yang bosan akan tema-tema modern seperti kafe kebanyakan di Jakarta. Dimana di semua penjuru dinding dihiasi dengan tanaman sintesis, kecuali sisi belakang panggung yang dibiarkan bersih dengan cat warna-warni. Sementara itu, di beberapa sudut ruangan terdapat pot yang ditanam pohon dan hanya bersisa dahan juga ranting dengan potongan kertas bertuliskan pesan-pesan pengunjung. Mulai dari kalimat cinta hingga pesan mendalam penuh kerinduan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Rasa
RomanceKejadian empat tahun lalu meninggalkan torehan luka yang masih menganga dalam diri Jessica. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma yang terus menghantui. Berpikir sulit baginya untuk kembali merasakan cinta dan memulai sebuah hubungan yang baru. Te...