35. Rasa Bersalah, Cinta dan Penyesalan

324 26 10
                                    

Bodoh karena membiarkan gadis itu pergi tanpa sebuah kepastian. Bodoh karena terlambat menyadari perasaan yang bersemayam dalam hati untuk mantan dokternya itu. Bodoh karena tidak lebih awal menyatakan bahwa Jessica telah memenuhi seluruh ruang hampa di hatinya. Bodoh karena telah menghakiminya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Bodoh karena membuat Jessica semakin terjebak dalam rasa bersalah.

Kalimat-kalimat tersebut terus memenuhi otaknya setahun terakhir. Setahun tanpa sebuah kepastian dan kabar, membuatnya frustasi. Sebenarnya dengan semua yang dimiliki, pria itu bisa dengan mudah melacak keberadaan Jessica, lalu segera menemuinya. Memeluknya untuk kemudian tidak akan pernah ia lepaskan. Atau jika ingin lebih cepat, setidaknya dirinya bisa bertanya pada Tiffany. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin bahwa sahabat Jessica itu akan dengan mudah memberitahu informasi yang dibutuhkannya.

Hatinya menginginkan Jessica secepatnya berada dalam jangkauannya. Tetapi logikanya memilih untuk tetap diam, memberikan gadis itu waktu seperti keinginannya. Demi tuhan, ia benar-benar mencintai Jessica tanpa celah. Walaupun hatinya menangis dalam sebuah penantian yang tak berujung sekalipun, Revan rela jika harus menunggu. Ia rela membiarkan hatinya menjerit sampai suatu saat takdir akan berpihak kepadanya.

Selama ini Revan hanya memandangi beberapa potret kebersamaannya dengan Jessica yang sempat diabadikan dalam kamera. Bagaimana senyum cerianya nampak jelas disana, ditambah binar mata hazel yang selalu memancarkan ketulusan. Semua yang ada dalam diri gadis itu membuatnya setengah mati merindu. Kalau saja rindu itu adalah sebuah bom, Revan yakin dirinya sudah hancur berkeping-keping, bahkan sudah tak berbentuk menjadi abu karena bom itu sudah meledak akibat terlalu banyak menanggung rindu bertumpuk.

Disaat tiba-tiba rindu menyergap, dirinya selalu mendatangi satu tempat yang selalu mengingatkannya pada gadis tersebut. Tempat yang banyak menyimpan kenangannya dengan Jessica. Tempat bersejarah awal bertemunya mereka. Hampir setiap harinya, Revan selalu menghabiskan waktu di rumah sakit, tepatnya di taman.

Bahkan satpam dan beberapa petugas yang lain sudah hafal dengan kehadirannya. Satu jam, setidaknya yang dilakukannya hanya terduduk dalam diam disana, disebuah bangku 'milik' Jessica. Seperti sudah disetting, setiap kali dirinya menjejakkan kaki di tempat yang dipenuhi orang sakit tersebut, otaknya akan mulai memutar semua momen kebersamaannya dengan Jessica.

Seperti sekarang, karena tidak ada jadwal meeting pagi ini, Revan memilih datang lebih awal di tempat itu. Menikmati udara pagi yang masih segar seperti yang selalu dilakukan Jessica. Membayangkan pagi itu dirinya tengah menghirup harum khas udara pagi bersama gadis yang selalu membuatnya merindu. Wajahnya sangat ekspresif. Terkadang nampak sebuah senyum samar, meringis pedih, kadang juga terlihat matanya yang berkaca-kaca.
Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaannya begitu lemah. Hanya butuh tujuh bulan, Jessica sudah memenuhi seluruh ruang hatinya. Tujuh bulan yang sangat cepat mengingat sebelumnya pria itu baru saja kehilangan kekasihnya.

Jessica, Jessica, Jessica. Hanya nama itu yang terus berdengung di telinganya. Hanya nama itu yang terus terucap dalam setiap rintihan rindu yang mendera. Hanya satu nama itu yang membuatnya bertahan hingga sekarang untuk masih berusaha menghirup oksigen meski terasa begitu menyesakkan.
Sayangnya tidak ada yang dapat ia perbuat lagi selain meratapi kenyataan bahwa Jessica tidak lagi berada dalam jarak pandangnya. Ia membutuhkan gadis itu. Sangat.

Sudah satu jam lebih, tetapi sama sekali belum ada tanda-tanda Revan akan beranjak dari posisinya. Pandangannya mengamati sekeliling taman. Dilihatnya seorang kakek yang duduk dalam kursi roda dengan nenek di belakangnya tengah mengarahkan kursi roda tersebut di sebuah bangku. Dalam benaknya, ia menebak kalau mereka adalah sepasang suami istri.

Matanya tidak pernah lepas memperhatikan pasangan renta tersebut. Kini nenek tengah menyuapi dengan sangat sabar sang suami yang berulang kali menolak makanannya. Entah apa yang diucapkan nenek itu, tetapi kemudian si kakek mau juga memakannya, sekalipun jelas terlihat keengganan di sana. Meski begitu, beberapa kali mereka tertawa bersama yang entah karena apa. Tangan nenek itu juga terus membersihkan sekitar mulut kakek yang belepotan.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang