24. Trauma

213 21 6
                                    

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Revan memecah keheningan suasana dan gemuruh hatinya sendiri. Pria itu sempat mendengar Jessica menjerit, ia yakin gadis itu kini kesakitan. Tetapi kekhawatiran Revan tersebut tidak cukup untuk membuatnya segera mengubah posisinya yang masih berada di atas tubuh Jessica.

"Ehm.. e itu, aku..aku tidak apa-apa." Jessica merasa kegugupan melandanya hingga terbata menjawab pertanyaan bernada kecemasan dari Revan.

"Syukurlah kalau begitu." Jessica bisa melihat kelegaan di wajah Revan setelah mendengar penuturannya.

Revan masih tetap tidak bergerak, meski kini dirinya merasa pegal di kakinya karena sejak tadi menjadi tumpuan tubuhnya sendiri. Tetapi perasaan nyaman dan desiran halus di hatinya mengalahkan segalanya.

"Sampai kapan kamu akan diam seperti itu, Van? Aku kedinginan." tanya Jessica pelan yang masih terdengar oleh Revan.

Walau sebenarnya enggan melepas kontak diantara mereka, tetapi sepertinya Revan memang harus segera beranjak dari atas tubuh Jessica. Pria itu menarik perlahan tangannya dari bawah kepala Jessica setelah memastikkan gadis itu mampu memposisikan diri. Lalu segera berdiri dengan hati-hati, takut kejadian yang baru saja terjadi akan terulang kembali. Diulurkan tangannya untuk membantu Jessica berdiri. Kemudian mengajak gadis itu untuk duduk di sofa ruang tengah apartemen miliknya.

Revan nampak sedang menghubungi seseorang setelahnya. Sementara Jessica mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemen dimana dirinya berada sekarang. Desain interior apartemen yang terkesan klasik tapi mewah. Gadis itu yakin apartemen Revan termasuk dalam jajaran apartemen mahal. Tentu saja, karena gedung itu berlokasi di salah satu area elit di kawasan Jakarta.

Perabotan disana juga tidak terlalu banyak. Bahkan sama sekali tidak ada lukisan atau foto yang biasanya memperindah dinding. Hanya ada satu set sofa, home theater, seperangkat speaker dan alat elektronik lain di ruang tengah. Sedangkan di sisi kiri bagian apartemen merupakan dapur dengan kitchen set lengkap beserta meja makan di sana. Terdapat dua kamar yang juga berhadapan yang dilengkapi dengan kamar mandi di sisi yang berlawanan dengan dapur. Tidak ada sekat pembatas antara dapur dan ruang tengah yang langsung terhubung dengan balkon.

Dari tempatnya duduk, Jessica dapat melihat adanya kursi dan meja kecil di balkon. Semenjak memasuki apartemen, ia merasakan nyaman berada di tempat itu. Suasana yang tenang, layout dan tata letak yang pas membuat Jessica betah.

Tidak kurang dari lima belas menit, seseorang mengetuk pintu apartemen Revan. Pria itu lantas berdiri dan membuka pintu tanpa melihat interkom di samping pintunya. Setelah mengucapkan terima kasih pada orang tersebut, ia kembali duduk di samping Jessica dengan membawa paper bag di tangannya.

"Aku meminta orang suruhanku untuk membelikanmu pakaian. Kamu tidak mungkin memakai pakaian basah seperti itu, bukan? Jadi sekarang gantilah pakaianmu dengan ini." ungkap Revan menyerahkan paper bag itu pada Jessica.

Gadis itu berpikir sejenak, kemudian mengangguk dan menerima paper bag tersebut, lantas berjalan memasuki kamar yang ia gunakan sebelumnya. Setelah Jessica menghilang dibalik pintu kamar, Revan berdiri dan menuju kamar yang lain.

Jessica cukup nyaman dengan setelan khas rumahan berupa blus panjang hingga siku dan celana kain. Kini ia sudah berdiri di balkon menikmati pemandangan malam hari dari lantai 27. Ia memeluk tubuhnya yang kini mulai merasakan dinginnya angin malam. Tetapi ia masih enggan untuk meninggalkan keindahan itu. Keramaian jalanan masih cukup terlihat meski jam telah menunjukkan pukul setengah 11.

Di saat Jessica terhanyut dengan pemandangan sederhana yang membuatnya terkagum, tiba-tiba dirinya merasakan hangat di tubuhnya. Jessica menoleh, dan mendapati Revan yang menutupi tubuhnya dengan sebuah jaket yang ia yakini adalah milik pria itu. Ia bisa mencium aroma parfum khas pria itu. Untuk sejenak Jessica memejamkan mata, menarik napas pelan menghirup harum aroma tubuh Revan. Menikmati kedamaian yang ia rasakan hanya karena bisa sepuasnya mencium keberadaan pria itu didekatnya.

Satu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang