23 - Menyerah?

606 24 11
                                    

Mendung pekat menyelimuti langit.
Tian berdiri memandangi batu nisan yang bertuliskan nama Pongki. Sebagian besar orang yang melayat sudah pulang. Hanya tersisa keluarga Pongki, keluarga Vania, dan Ayah, Ibu kandung Tian.

Tian menoleh ketika pundak kirinya terasa ditepuk seseorang. Di samping kirinya, berdiri seorang pria lanjut usia yang Tian ketahui adalah Ayah dari Pongki. Pria itu tersenyum tipis ke arahnya.

"Pongki menganggapmu seperti anaknya sendiri. Dia pergi, raganya mati. Tapi jiwanya tetap hidup, tetap abadi dalam kenangan." Ujar pria itu,   beranjak pergi, diikuti beberapa orang yang Tian kenali sebagai Ibu dan Kakak Pongki.

"Ibu tunggu di Rumah." Ujar Ibunda Tian. Tian menjawabnya dengan anggukan.

Harun, Ayah Tian. Menepuk-nepuk pundak Tian, seperti memberi kekuatan kepada Tian. Harun beranjak pergi, Tian semakin tak kuasa menahan air mata yang ia tahan dari kemarin. Tian mendongakkan kepalanya, berusaha tetap menahan air matanya agar tidak terjatuh.

Pertahanan Tian runtuh, ia jatuh terduduk di samping makam Pongki. Hujan mulai turun, seperti ikut menangisi kepergian Pongki.

Tian menggelengkan kepalanya. "Air hujan ngebuat mata gue perih"

Air hujan seperti menyamarkan air mata Tian. Namun tidak dengan Vania. Gadis itu mengelap air matanya sendiri , lalu mendekat ke arah Tian, memayungi Tian dengan payung yang dibawanya.

"Gak ada yang salah, nangis buat seseoarang yang kita sayangi"

Tian bangkit berdiri, membalikan badan hingga berhadapan dengan Vania. Tian lalu meraih tubuh gadis itu kedalam pelukannya.

Ada yang salah. Harusnya bukan gadis itu yang dipeluknya sekarang. Harusnya gadis yang ia cintailah yang saat ini ada di sisinya, yang mungkin mampu memberi kekuatan tersendiri untuknya.
Namun apa daya, gadis itu seperti hilang tanpa jejak.

                          ******

Tian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia mengacak rambutnya gemas, sudah puluhan kali ia coba menelepon Keyla, dan entah berapa pesan yang ia kirimkan ke nomor gadis itu. Namun tak satupun mendapatkan respon.

"Apa egois ya? Saat ini gue ingin lo bisa ada disini, nemenin gue." ujar Tian sambil memandangi foto Keyla di ponselnya.

Pandangannya teralih ke arah sebuah foto di dinding kamarnya. Di foto itu terlihat dirinya dan Pongki yang meniup lilin kue ulang tahun bersama.
Tian tertawa geli melihat angka di lilin tersebut, Empat ribu tujuhbelas. Perpaduan angka dari umur masing-masing. Ulang tahun mereka terpaut satu hari, jadi mereka merayakannya di antara tanggal ulang tahun mereka.
Terdengar aneh, tapi itulah yang mereka lakukan. Saling berbagi kebahagiaan bersama disaat keluarga mereka sibuk dengan dunianya.

Tian tersadar dari lamunannya ketika ponsel di tangannya bergetar. Dilihatnya layar ponselnya, senyumnya mengembang begitu melihat dissplay picture si penelepon. Segera ia terima panggilan itu dengan bersemangat.

"Halo, Key."

"Gue mau ketemu lo sekarang. Bisa?"

"Ayo, ketemuan dimana?" tanya Tian antusias.

"Di taman biasa, gue tunggu lo disana."

"Iya, gue langsung otw kesana. Tung-"

Tut... Tut...

Sambungan terputus. Tian mengembuskan napasnya kasar, "Kok perasaan gue gak enak ya? eh, kok gue jadi mikir aneh begini? Keyla.., gue datang."

Tian menyambar jaketnya yang tersampir di kursi, tak lupa juga mencomot kunci motornya di meja.

Lima belas menit kemudian. Tian sudah sampai di taman yang dimaksud.

Seperti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang