27

507 25 9
                                    

"Hai kamu. Kita yang pernah saling mencintai diantara jarak. mengesampingkan perbedaan agama, adat, dan budaya masing-masing. Kita yang pernah berdoa kepada 'Tuhan' kita masing-masing. Bertanya apakah boleh mencintai umatnya yang berbeda Tuhan.
Aku tahu, aku tidak pantas.
Aku tahu, aku tidak layak.
Biar rasa ini terus tersimpan, terus ada walau kita tak lagi satu."

Tanpa lilin.
                             ------

Tian dengan cuek merebahkan tubuhnya di lantai rooftop sekolah. Ia sedang bolos. Tapi kali ini ia ditemani Edi, Rendi dan beberapa teman-temannya.

"Jadi, Dafa belum puas?" gumam Tian.

"Iya. Setelah lo ngehajar dia habis-habisan. Dia minta kita buat gabung sama Dafa buat nyerang kalian" jelas Reno.

"Kenapa lo tolak ajakan Dafa?" tanya Tian.

Reno terkekeh, "Gila apa, kita nyerang lo. Elo itu masih bagian dari kita"

"Kalian gak harus ikut gue"

Reno mengernyitkan dahinya "Maksud lo?"

"Biar gue sama Dafa yang nyelsain. Ini masalah gue ama Dafa"

"Oke. Tapi kalo lo butuh pasukan tambahan. Gue sama anak-anak siap bantu lo, kapanpun" ujar Reno.

"Dafa yang ngibarin bendera perang duluan. Jadi dia juga yang harus ngibarin bendera damai." celetuk Edi.

"Orang kek Dafa gak bakal bisa berdamai. Ngelihat kita lengah sedikit aja, dia pasti bakal nyerang kita dari belakang." Sambung Rendi

                           ******

"Kamu seneng kan?" ujar Dafa.

Aku mengangguk, "Iya,"

Aku kembali memandang kosong ke arah jalanan, berada satu mobil dengan Dafa membuatku sangat merasa bosan. Aku sedang di perjalanan pulang. Tadi sepulang sekolah, Dafa mengajakku mampir ke rumahnya. Katanya, Mamanya ingin bertemu denganku.

Pikiranku kembali melayang ke semua kenangan tentang Tian. Aku biasa pulang dengannya naik motor, mencuri pandang dari kaca spion motornya hanya untuk melihat cengiran konyolnya ketika berbicara.

Apa salah, bila aku masih memikirkannya? Apa semua yang kulakukan ini salah?

Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Suara ponsel itu milik Dafa. Terdengar Dafa berbicara dengan seseorang di telepon, ku hiraukan dengan kembali menatap jalanan.

Kalau boleh, aku lebih baik memilih tidak pernah bertemu dengannya, Tidak pernah kengenalnya.
Bukan karena aku menyesal pernah mencintainya. Aku bahagia bahwa aku pernah mencintainya, pernah dicintai olehnya melebihi sipapun.

"Key..," panggil Dafa.

"Hm...?" aku menoleh ke arahnya.

"Barusan temen-temen lama gue nelepon, mereka ngajakin gue ngumpul."

"Lalu?" Tanyaku to the point.

"Aku mau langsung ke tempat mereka. Kamu gak keberetan kan aku turunin di depan sana?"

"Oh..." aku terkejut, namun berusaha kubuat ekspresiku seperti biasa, "Gak pa-pa kok. Lagian aku mau mampir ke tempat lain juga, ada yang harus ku beli." Ucapku.

Mobil dafa berhenti. Setelah aku turun, Dafa langsung melajukan kembali mobilnya. Dafa meninggalkanku di pinggir jalan tanpa sepatah katapun. Aku tak mengharapkan kata, hati-hati di jalan darinya. Tetapi, apakah pantas seorang cowok melakukan ini kepada cewek? Apalagi ini sudah sangat sore.

Aku merutuk kesal. Aku marah, tapi kenapa rasanya ingin menangis. Aku menoleh ke kiri, kulihat ada sebuah motor hitam terpakir sekitar Lima Puluh meter dari tempatku berdiri.

"Tian?" ucapku lirih. Aku hafal betul motor miliknya. Ada stiker bergambar aneh di motornya, membuatku mudah untuk mengenali kalau motor itu miliknya.
Tapi aku tak melihat Tian di sana, entah dimana dia.

Beberapa menit kemudian, aku merasa lega begitu melihat taksi. Ku lambaikan tangan untuk menghentikan taksi tersebut. Ketika taksi berhenti tepat di depanku, aku langsung membuka pintu dan memasuki taksi tersebut.
Setelah menyebutkan kemana tujuanku, taksi kembali berjalan.

Aku menoleh ke belakang. Ada yang mengikuti taksi yang kutumpangi.
Aku berani bertaruh bahwa yang mengikutiku itu adalah Tian.

Orang yang ku kira Tian itu terus mengikutiku. Hingga taksi berhenti di depan runahku, aku menoleh ke belakang. Kulihat 'dia' memutar balik arah motornya, lalu berkendara dengan kencang.

Aku membayar ongkos taksi lalu turun. Begitu aku sampai di teras, hujan mulai turun.

"Hujan, bilangin ke Tian, Makasih,"

                           ******

"Tolol!" umpat Tian.

Tian mengendarai motornya menembus hujan.

"Gak punya otak apa?! Ninggalin cewek di jalanan sepi sendirian." Tian terus bercerocos, menyalahkan Dafa yang meninggalkan Keyla di pinggir jalan.

Tian yang tidak fokus, tanpa sengaja melintas di jalan yang aspalnya berlubang. Ia mencoba menghindar tetapi malah membuat motornya oleng.

"Sial!" maki Tian.

Ia berhasil mengendalikan motornya hingga kembali berjalan normal. Hujan mengguyur tubuhnya hingga basah kuyub. Sedikit menggigil, tapi sudah biasa baginya.

                           ******

Seekor kucing dengan bulu putih, mengeong di dekat kaki Keyla. Membuat Keyla yang sedari tadi melamun sambil menatap hujan mengalihkan pandangannya ke kucing itu.

"Kiti..," Keyla mengangkat kucing tersebut dalam gendongannya.

Lagi, ia teringat Tian. Tian yang selalu jengkel ketika melihat Kiti. Bukan tanpa alasan, Kiti pernah memakan ikan cupang Tian yang waktu itu baru ia beli. Dan juga Tian pernah sewot karena saat Tian mampir ke rumah Keyla, Keyla bukannya mengajak Tian mengobrol, melainkan asyik sendiri bermain dengan Kity.

Mungkin hanya butuh waktu untuk sembuh. Butuh waktu untuk mengembalikan setengah hati yang hilang.


Hai...
Maaf, part ini kependekan.
mumet mau lanjutin ini cerita
Jadi, rencananya bakalan cepet tamatnya.
Sad ending or happy ending? Authornya masih bingung
Liat aja kedepannya 😈

Seperti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang