24

498 21 4
                                    

Tian membuka matanya perlahan. Ia merubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar. Tian mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Cklek...

Seorang gadis berambut ikal masuk ke dalam ruangan tersebut, "Eh.., elo udah siuman."

"Kenapa gue ada di sini?" Tanya Tian, ia meringis menahan nyeri di perut dan wajahnya.

"Sorry, gue tadi panik liat lo berdarah-darah. Jadi gue langsung bawa lo klinik terdekat, bukannya ke rumah sakit. Kebetulan, ini klinik tante gue" gadis itu menggigit bibir bawahnya, seperti merasa bersalah.

"Jadi, ini di klinik," Tian berusaha bangkit berdiri, "Berapa biaya perawatan gue?"

"E-em.., tante gue bilang nggak perlu bayar. Lagian gue cuma ngebersihin luka sama ngasih plester doang kok"

"Jadi elo yang ngobatin gue? Kalo gitu makasih, sampain makasih gue ke tante lo juga" Tian turun dari ranjang klinik.

"Iya. Kalo masih sakit, mending lo istirahat di sini aja dulu. Jangan maksain diri" tawar gadis itu.

"Makasih tawarannya, tapi gue harus pergi" Tian berjalan menuju pintu, lalu keluar dari ruangan trrsebut.

Gadis itu memandang kepergian Tian. Ia melihat kejadian di tamana waktu itu dari awal hingga akhir, "Kenapa kisah mereka seperti sinetron?" tanya gadis itu pada diri sendiri.

                           ******

Dua hari berlalu, Tian masih tak terlihat masuk sekolah. Namun apa daya, Keyla sudah berjanji mengubur perasaanya dalam-dalam.
Meskipun dalam hatinya yang terdalam, ia merasa khawatir dengan Tian saat ini.

Edi berjalan di koridor sendirian, dari kejauhan ia melihat Keyla dan Dafa berjalan berdua.
Edi sudah tau dari Tian bahwa Tian sudah putus dari Keyla. Dan juga siapa pelaku yang menyerang Tian hingga babak belur.

Ada sesuatu yang direncanakan Edi, ia berusaha memasang ekspresi seperti biasanya.

"Eh.., Keyla." Sapa Edi begitu berpapasan dengan Keyla dan Dafa.

Keyla hanya tersenyum.

"Lo tau, kenapa Tian gak masuk sekolah? Gue udah coba ngehubungin dia, tapi hapenya mati."

Keyla menggeleng, "Gue juga gak tau. Gue sama Tian udah putus."

"Oh.., sorry" ujar Edi seperti merasa bersalah.

Keyla hanya tersenyum, kemudian berlalu. Dafa menatap Edi tajam.

Edi balas menatap dengan tajam, "Cowok itu gak nyerang lawannya dari belakang. Lebih baik kalah saat saling berhadapan, daripada menang tapi nyerang dari belakang"

Dafa terpancing emosi, ia mendorong tubuh Edi, "Masalah lo apa, huh?! Jangan ikut campur urusan gue!"

"Siapapun musuh Tian, orang itu juga bakal jadi musuh gue" Edi tersenyum mengejek, "Sebenernya gue pengen banget ngehajar lo, tapi bakal lebih menarik kalo Tian sendiri yang ngehancurin elo dengan tangannya sendiri" Edi berlalu meninggalkan Dafa.

Dafa meninju tembok di depannya, "Bangsat! Gue bakal ngehancurin siapapun yang memihak Tian!"

Di tempat lain.
Keyla berjalan dengan cepat ke arah tangga yang menuju ke atap. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya, terutama Dafa.
Begitu merasa aman, Keyla bergegas menaiki tangga menuju atap.

Keyla menutup pintu di belakangnya,  Ia memandangi pemandangan di depannya. Masih sama seperti terakhir kalinya ia kemari bersama Tian.

"Sama kayak tempat ini, perasaan gue sebenernya juga masih sama." Keyla duduk di kursi tempatnya dan Tian biasa duduk di sana.

"Di tempat ini kita kenalan secara baik-baik," Keyla tertawa getir, "di tempat ini pertama kali kita bercerita tentang kehidupan masing-masing. Gue tau sedikit cerita hidup lo di tempat ini."

Air mata Keyla menetes, ia mengusapnya dengan kasar, "kita saling tukar nomor telepon, malemnya lo chat gue. Balesan chat gue waktu itu cuek, tapi sebenernya gue jingkrak-jingkrak saking senengnya."

"Makin lama gue ngerasain hal lain selain kesel sama sifat lo itu. Perasaan yang tumbuh tanpa gue sadari, hingga akhirnya lo nyatain juga perasaan lo ke gue.
Gue selalu anggap hari itu sebagai hari terbaik dalam hidup gue. Dan sampai akhirnya berakhir seperti ini" air mata Keyla terus mengalir.

"Sampai saat ini gue masih bertanya, apakah sebuah kebetulan itu cuma kata lain dari takdir? Atau takdir kita bertemu itu cuma kebetulan semata?"

                          ******

Hujan turun dengan lebatnya. Tian berdiri di sebuah halte untuk berteduh, ia mendongak, menatap langit yang tertutup mendung. Hujan selalu membuatnya mengenang banyak hal.
Sebuah mobil sedan berhenti di depan halte, lalu seorang pria keluar dari dalam mobil. Berlari ke arah halte tempat Tian berteduh.

Tian mengenali pria tersebut, "Ayah, ngapain Ayah di sini?"

Harun tersenyum, "Sama seperti yang kau lakukan saat ini, Ayah sedang berteduh"

Tian terkekeh, "Ayah kan naik mobil, mana mungkin bisa kehujanan," Tian kembali menatap langit, "Oh, ya. Tian minta maaf karena kesalah pahaman Tian selama ini."

Harun menatap Tian heran, "Salah paham? Tentang apa?"

"Alesan Ayah ninggalin aku sama Ibu. Tian pikir karena Ayah udah gak sayang sama kami," Tian menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kasar, "kenapa Ayah gak kasih tau yang sebenernya?"

"Kalau Ayah ngasih tau yang sebenarnya. Sama saja ayah membuat kalian sengsara. Ayah gak minta kamu buat maafin Ayahmu ini, Ayah tau yang Ayah lakuin ini jahat.
Alasan Ayah bertahan adalah kamu, dan ibu kamu. Maaf gak pernah ada si sisi kamu, bahkan cuma sekedar untuk ngelihat kamu tumbuh"

Tian hanya terdiam, ia sudah tak mampu berkata lagi.

"Apa Pongki yang ngasih tau kamu?" tanya Harun.

"Iya. Beberapa hari sebelum Om Pongki meninggal, dia nyeritain semuanya"

"Pongki, si mulut ember" harun tertawa getir, "Ayah masih gak percaya, kalau dia pergi secepat itu"

"Dia pergi, tapi jiwanya tidak pernah mati" Tian berjalan menuju motornya, mengabaikan hujan yang dengan derasnya mengguyur tubuhnya.

"Kamu mau kemana?"

"Mau main air hujan" Tian menghidupkan mesin motornya lalu melesat di jalanan yang digenangi air hujan.



Selamat tahun baru....
Eh... telat ya
Maap apdet nya lama
Buntu mau lanjutin ini cerita T-T

Seperti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang