Dua

1.2K 66 27
                                    

Aku merebahkan tubuhku, rasa letih tiba-tiba saja menyerangku selepas dari perpustakaan. Buku yang kugenggam kini telah berpindah tempat di salah satu sudut kasur, tergeletak tak berdaya. Perlahan aku memencet tombol on pada remote control kipas angin yang menggantung di dinding kamar tepat aku berbaring.

Sedetik aku merasakan sejuk sebelum akhirnya benda sebesar telapak tangan itu memecah keheningan di dalam kamarku. Dengan malas aku bangkit meraih benda itu yang berada di atas meja belajar.

"Halo!" ucapku begitu menerima panggilan masuk tersebut.

"Halo, Ra! Aku cuma mengingatkan besok jangan lupa."

"Iya, Bawel. Aku gak lupa, kok," ucapku bersungut-sungut mendengar kenyataan bahwa yang menelepon adalah Beri–sahabatku. Seorang gadis yang kukenal tepat hari pertama aku menyandang status sebagai mahasiswa baru beberapa tahun lalu.

"Ya siapa tahu aja Ra, kamu lupa. Jadi sebagai sahabat yang baik hati dan tidak sombong, aku bertugas mengingatkan kamu, secara kamu kan jomlo."

Aku diam, di seberang sana terdengar tawa kecang milik Beri. Dongkol juga aku dibuatnya, berniat jika besok bertemu akan kujitak kepalanya. Lima belas detik berlalu, tawa itu mereda.

"Oh ya, Ra ...," ucapnya lagi.

"Ya!"

"Aku mau boleh pinjam novel kamu gak?"

"Novel yang mana?"

"Itu yang pernah bilang sama aku, kamu lupa?"

"Oh yang itu? Boleh. Nanti aku coba cari."

"Makasih ya, Ra."

"Iya. Ada lagi?

"Hmm, itu aja sih. Sampai jumpa besok," tutupnya.

"Iya."

Aku meletakkan kembali telepon pintar itu di atas meja, sembari memijit-mijit kepalaku. Hampir saja aku lupa bila esok usai perkuliahan aku ada janji sama dia, untung saja Beri mengingatkanku perihal ini. Padahal rencananya besok aku ingin pergi ke tempat Bulan, tapi tak apalah mungkin lain kali saja.

Aku beranjak mendekati rak buku, mencari-cari buku yang diminta Beri. Seingatku buku itu aku simpan di rak paling bawah. Saat aku menggeledah bukannya novel malah buku dongeng yang kutemukan. Ya, memang ada beberapa buku dongeng yang kukoleksi. Buku yang sempat kubeli saat masih kelas empat SD. Kali pertama aku mulai mengoleksi buku-buku fiksi, hingga hari ini. Namun, saat ini aku jarang membeli buku, dengan padatnya tugas yang hampir tiap pekan mengantri untuk diselesaikan membuat waktu membacaku banyak tersita karena menjamahnya.

Setengah jam aku menggeledah isi rak buku, hingga aku mendapati buku yang diminta Beri. Aku tersenyum lega, setidaknya buku ini masih bagus meski terlihat sedikit usang karena berada di antara tumpukan buku terlalu lama.

♥♥♥

17.03 WITA.

Hujan belum berhenti.

Aku masih berdiri di sini–pojok halte, menantikan hujan berbaik hati memberiku sedikit jeda untuk melangkah pulang. Hari ini, dengan terpaksa rencanaku untuk bertemu dengan Beri harus gagal total. Bermula saat Beri mendapat kuliah tambahan, disusul hujan datang tiba-tiba yang sejak Asar tadi tak jua berhenti hingga detik ini.

Aku menghela napas, sudah sejam lebih aku berdiri dan selama itu pulalah aku memperhatikan hujan yang jatuh menyentuh bumi. Lihatlah, dengan relanya menghempaskan dirinya berbaur dengan tanah mengalir tanpa tahu ke mana ia akan berhenti. Apakah menuju muara atau malah berakhir di selokan. Nyatanya ia hanya menjalankan tugasnya, tanpa berpikir seperti apa akhir dari pengembaraannya. Kupikir kita tidaklah beda dengan sebulir hujan. Kita menjalankan tugas sebagai seorang hamba dengan taat kepada Tuhan, tapi tak tahu apakah perjalanan kita menuntun kita ke tempat indah atau malah sebaliknya. Meski sebagian besar diri kita mengharapkan tempat terindah, tapi tak ada yang bisa menjamin, bukan? Pada akhirnya hidup seserdehana siklus setetes hujan.

Tanganku menjulur ke depan merasakan kesejukan air yang jatuh menyentuhnya. Sesekali aku membolak-balikkan tangan kananku. Lantas apa yang kau ketahui tentang hujan?

"Lantas apa yang kau ketahui tentang hujan?"

Aku kaget. Hei! Dari mana ia tahu perihal apa yang aku pikirkan? Suara itu berasal dari belakangku. Namun, aku tak berbalik melihatnya meski rasa penasaranku sangatlah besar. Tanganku yang sedari tadi menjulur tertahan di udara.

"Apa yang kau ketahui tentang hujan?" ulangnya sekali lagi.

Aku terdiam. Bukan karena aku tak bisa menjawab, namun aku merasa suara itu tidak asing bagiku. Bunyi hentakan kakinya terdengar jelas melangkah tepat di sampingku, ekor mataku menangkap ia sedang menengadah. Aku menarik tanganku yang tertahan—basah terkena hujan bersamaan mengalihkan pandanganku kembali ke depan.

"Hujan adalah kerinduan. Setiap rintiknya adalah pesan rindu yang disampaikan lewat awan mendung hingga berakhir menjadi tetesan air yang jatuh dari langit," ia menjawab pertanyaannya sendiri.

Definisi menarik.

"Jadi di sini ada yang sedang menyampaikan pesan rindu?" Aku bertanya, mau tak mau aku menanggapi pernyataan pemuda yang berdiri di sampingku.

"Benar."

"Aku tidak percaya!"

"Itu pemahamanku. Bagaimana pun setiap orang punya definisi yang berbeda, tak semuanya sama. Seperti kata patah hati, apa yang kau ketahui tentang kata itu?"

"Putus cinta?"

"Benar. Tapi tak menuntut kemungkinan juga salah."

"Eh?" Aku beralih menatapnya dan mau tak mau aku kaget. Sebab ia juga beralih menatapku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya.

Ia tersenyum, aku membalas senyumnya meski dengan wajah bingung.

"Kamu Kejora, kan? Perkenalkan aku Samudra, yang di perpustakaan kemarin," ucapnya mengulurkan tangan. Seperti tahu dengan raut wajahku. Bibirnya masih menarik garis lengkung yang manis.

Aku mengatupkan kedua tangan di dada sebagai balasan, ia menarik uluran tangannya. "Bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku keheranan.

Ia tertawa. Aku bertambah heran dibuatnya.

"Kemarin aku bertanya sama Mbak Penjaga Perpustakaan, sebab kemarin sepertinya kamu buru-buru pulang hingga kita tak sempat berkenalan," jelasnya.

Aku mengangguk paham. Ya, aku ingat itu. Setelah menerima buku yang ia berikan padaku, aku buru-buru pulang. Rasa grogi yang menghinggapiku membuatku pergi sebagai langkah untuk menghindar darinya.

"Jadi?" Aku bertanya.

"Apa?" Ia mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Patah hati?" Aku memperjelas ucapanku.

"Oh iya. Patah hati bisa juga berarti proses pencarian menuju cinta yang sesungguhnya."

"Wah, aku gak sempat berpikir sampai di situ," ucapku kagum mendengar jawabannya.

"Dari awal sudah aku bilang, setiap orang punya definisi berbeda tergantung bagaimana pemahaman dan pengalaman yang mereka alami."

"Ya. Kamu benar."

"Terima kasih," ucapnya.

Aku membalasnya dengan lukisan melengkung pada bibirku.

Di luar sana langit masih menumpahkan ribuan bulir air, jatuh menimpah atap menimbulkan suara-suara yang memecah keheningan aku dan Samudra. Ya, setelah perbincangan kami beberapa waktu lalu. Kami akhirnya memilih untuk berdiam menunggu hujan reda. Sesekali kami melihat kendaraan lewat di depan kami dengan cepat hingga menimbulkan percikan air ke arah kami.

"Sepertinya hujan telah reda." Samudra membuka suara sesaat setelah melihat satu atau dua rintik hujan yang jatuh. Hujan telah reda. "Aku harus kembali. Ah, ya! Kamu belum menjawab pertanyaanku perihal hujan, bukan? Semoga kita bisa bertemu kembali, dan aku akan menagihmu. Sampai jumpa!" pamitnya menyeberang jalan menerobos rintik hujan yang mulai reda.

Aku menatap layar handphone-ku. 17.43 WITA.

Aku mendesah pelan, sebentar lagi hari akan gelap. Aku melangkah meninggalkan halte tempat aku berteduh. Sempat aku melihat ke atas langit. Tampak dari atas sana, sebuah garis melengkung dengan beraneka macam warna yang indah. Aku tersenyum melihat fenomena alam tersebut. Ya, itu adalah pelangi.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang