"Kamu akhirnya mutusin proses taaruf itu?" tanya Bulan ingin memperjelas ucapanku.
"Iya," jawabku mantap.
"Akhirnya kamu buat keputusan juga, Ra." Bulan merebahkan tubuhnya, memilih berbaring bersamaku.
"Hmm." Aku sibuk memainkan gawaiku.
"Oh, ya. Kamu yakin, yang kamu lihat di pondok itu dia?" Kali ini Bulan mengubah posisinya menjadi tengkurap.
Aku menoleh ke arahnya, "Iya, yakin banget malah," jawabku.
Bulan mengerutkan dahinya, masih tak percaya dengan apa yang aku omongin.
"Meski sudah lama aku tak berkomunkasi lagi dengannya, namun aku masih ingat raut wajahnya, Lan. Aku yakin, yang tiba di pesantren itu dia."
Ya, sudah 3 tahun ini aku tak berkomunikasi dengannya. Terakhir kami berkomunikasi pada saat hari terakhir UN, lepas itu sudah tidak lagi. Kami sibuk dengan urusan masing-masing, sibuk pengurus perlengkapan masuk ke perguruan tinggi. Hingga, pelan-pelan kami menjarak dan tak pernah saling menyapa di media sosial.
Aku kenal dia waktu kelas 2 SMA, perkenalan yang tak sengaja memang. Karena aku yang iseng meng-add sembarangan orang di media sosial, salah satunya adalah dia. Tak lama kemudian dia konfirmasi pertemananku, lalu berakhir chatting-an. Meski tak seperti chatting-an orang lain, karena dia amatlah cuek. Selalu kirimin dia spam chat sampai dia balas chat aku, meski balasannya seakan tidak ikhlas. Hanya jempol atau huruf Y. Tapi aku senang. Tak terasa perkenalan kami telah 1 tahun. Ada banyak yang kuketahui dirinya, seperti keinginan dia setelah lulus MA akan pergi ke Maroko.
"Tapi ngapain dia kembali?" gumam Bulan.
Seketika aku tersadar suatu hal. Bulan benar, kenapa dia balik? Pasti ada suatu hal penting yang mendesaknya pulang, ia tak mungkin pulang tiba-tiba karena kangen. Aku tahu dia, meski hanya berkenalan lewat media sosial, aku tahu dia bukan tipe seperti itu.
"Mungkin ada urusan mendadak, Lan," sanggahku.
"Coba pikir deh, Ra. Urusan mendadak apa yang bisa membuatnya pulang?"
Aku mengangkat kedua bahuku, tak tahu. Kemudian fokus pada gawaiku, membaca informasi di grup yang dibagikan ketua tingkatku.
"Eh, kamu masih main media sosial kan?"
Aku mengalihkan pandanganku dari gawai menatap Bulan tak mengerti, "Ya ampun, Lan. Aku udah lama gak main media sosial."
"Tapi masih aktif kan?"
"Aktif sih iya, ta—"
"Nah, sekarang kamu buka media sosial kamu," potong Bulan.
"Aplikasinya udah aku copot, Lan."
"Aduh, Ra. Kenapa dicopot sih?" Bulan mencubit pipiku dengan gemes, refleks aku memegang kedua pipiku yang rasanya memanas. "Ya udah, kamu buka di gawaiku aja," katanya lagi sembari menyodorkan kepadaku.
Aku meraih gawai Bulan, lalu membuka aplikasi dominan biru guna memasukkan email dan password-ku. Selang beberapa detik, aplikasi tersebut terbuka. Ada ratusan pemberitahuan dan permintaan pertemanan, serta puluhan pesan yang masuk. Tapi semuanya aku abaikan.
"Ya ampun, Ra. Ini udah berapa lama kamu gak buka? Banyak banget notifikasinya." Bulan segera mengambil alih gawainya.
"Kisaran 3 tahun sih," jawabku.
"Lama benar."
Aku tak menanggapi perkataan Bulan, aku sibuk memperhatikan ia men-scroll beranda media sosialku dari atas ke bawah. Sesekali ia terhenti membaca status seseorang atau melihat foto yang di-upload oleh teman media sosialku.
"Kamu bertemankan sama dia?"
"Iya."
"Nih, cari!" perintah Bulan.
Segera aku mencari namanya di kolom pencarian, selang beberapa detik muncul beberapa pengguna yang persis namanya. Namun, pengguna yang teratas itu aku kenal. Itu miliknya, meski sekarang foto profilnya telah diganti. Sepertinya ia masih aktif di media sosial. Walau bagaimana pun aku masih tetap mengenalnya.
Bulan lalu menyambar gawainya, dengan cepat ia membuka profil pengguna yang paling atas. Mencari tahu tentang pengguna media sosial itu.
"Owalah, Ra. Sekarang ia studi di Maroko ternyata." Kagum Bulan.
Aku tersenyum, ternyata impiannya dulu benar-benar ia wujudkan. Lagi, pandanganku mengarah ke gawai Bulan. Kali ini ia fokus membuka beranda pengguna media sosial itu, men-scroll dari atas ke bawah.
Di sana, aku melihat beberapa foto yang di-upload beberapa pekan lalu. Salah satu yang kulihat ialah foto di padang pasir bersama dengan seekor jerapah. Bulan kembali men-scroll berandanya ke atas. Status terakhirnya mengatakan bahwa ia siap-siap kembali ke Indonesia–tanah kelahirannya.
"Hasilnya nihil, Ra," ucap Bulan kecewa.
"Coba liat komentarnya, Lan," saranku.
Tanpa diminta dua kali, Bulan membuka komentar pada status terakhir pengguna media sosial itu. Namun, lagi dan lagi tak membantu sama sekali. Hanya ucapan hati-hati di jalan yang tertulis di sana.
"Kamu punya media sosial lain, Ra?"
Aku menggeleng pelan. Hanya aplikasi dominan biru itu yang menghubungkan aku dengan dia, tidak ada yang lain. Jelas kudengar helaan napas Bulan. Pencarian kami malam ini berakhir dengan sia-sia.
"Kita tunggu beberapa hari aja, Lan. Barangkali, ia akan meng-update status perihal kepulangannya," jelasku.
"Iya, Ra. Sepertinya kita harus menunggu."
Ya, tak ada yang perlu kuharapkan selain menunggu. Perihal kepulangannya kini menjadi tanda tanya bagiku. Aku yakin, ia tak mungkin datang begitu saja. Pasti ada yang mendesaknya kembali.
Tapi apa?
♥♥♥

KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Penantian || TERBIT
Teen Fiction[AWAS!! CERITA INI MENGANDUNG KENYESEKAN, HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!] Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tanpa kepastian? Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tak jua datang? Namaku Kejora. Gadis yang bodoh, sebab menanti sosok yang ta...