Tiga Puluh Dua

84 14 2
                                    

Usai salat Asar, Sam mencegahku untuk pulang. Katanya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Aku pun mengurung kepulanganku, terlebih lagi hari ini aku free. Tak ada kegiatan bahkan untuk menghadiri undangan seminar pun.

Saat ini, kami duduk di teras tribun lapangan merdeka depan masjid yang tadi ditempati salat. Pandanganku menjurus ke depan tanpa melihat Sam yang duduk di sampingku dengan jarak satu meter. Aku diam. Masih belum memberinya jawaban atas pertanyaannya barusan.

Di depan sana, kulihat anak-anak bermain sepak bola di lapangan. Beberapa remaja yang berlari mengelilingi sisi lapangan, dan beberapa orang lainnya hanya duduk santai persis yang kulakukan bersama Sam di tribun. Suasana lapangan merdeka sore ini perlahan menjadi ramai.

"Bagaimana, Ra?" Sam masih sabar menunggu jawabku setelah beberapa saat yang lalu kami diam membisu.

Jujur saja ini amat sulit, aku hanya menganggap Sam sebagai teman tak lebih. Ya, walau mungkin kami sering bertemu secara tak sengaja beberapa kali. Namun, bukankah semua itu adalah rencana Tuhan? Aku yakin, semua yang terjadi tak luput dari rencana-Nya. Bukankah kini sudah terlihat jelas? Sejak pertemuan tak sengaja itu, kini Sam yang menjadi muslim sejati? Bukankah itu bagus. Hanya saja mungkin niatnya salah. Itu yang harus aku luruskan pada Sam.

Baiklah, aku harus menjawabnya meski mungkin ini akan menyakitinya. Tapi, alangkah lebih baik jujur dari pada berbohong demi menyenangkan orang lain yang sama saja menyakitinya dikemudian hari. Berbohong demi kehagiaannya tak jauh berbeda dengan menunda dalam menyakitinya.

"Maaf, Sam. Aku menghargai keberanianmu. Tapi aku ingin kau jadi mualaf bukan karena diriku, melainkan karena kau memang sungguh-sungguh mencari rida-Nya. Untuk saat ini, aku belum bisa menerimamu." Akhirnya aku mengucapkan kalimat yang tak menyenangkan bagi dirinya.

Ekor mataku menangkap sosok Sam mengangguk, "Baiklah, Ra. Mungkin Tuhan mempertemukan kita bukan untuk saling memiliki, melainkan sebagai jalan agar aku bisa mengenal Dia. Mungkin aku yang terlalu berlebihan mendefinisikan pertemuan kita, terlalu berharap yang indah-indah, dan terlalu mengangankan yang tidak-tidak. Terima kasih atas pertemuan-pertemuan yang terjadi di antara kita, Ra. Semoga menjadi kenangan yang tak bisa kulupakan."

"Iya, Sam. Sekali lagi, maaf. Aku harap, semoga kau menjadi muslim sejati hari ini, esok, dan selamanya."

"Aamiin allahumma aamiin."

Aku pun mengucapkan doa yang sama.

Lagi.

Untuk kedua kalinya, aku menolak seseorang yang berniat menjadikanku bidadarinya demi dia.

Tuan, kuharap kau benar-benar yang Semesta tetapkan untukku dan aku adalah arah tujumu yang sesungguhnya.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang