Delapan Belas

119 22 0
                                    

Usai salat Zuhur, aku mengikuti Firman menuju kantin. Membeli makanan untuk santap siang di asrama. Sebenarnya, Firman tak ingin aku temani, takut para santri salah paham tentang diriku dan Firman. Namun, aku ngotot mau ikut.

"Bilang aja kalau aku ini kakakmu," ucapku saat ia keberatan jika aku ikut.

Karena tak ingin berdebat, akhirnya ia mengiakan. Aku pun tersenyum penuh kemenangan, lantas berjalan beriringan dengannya menuju kantin. Selain menemani Firman, alasan lainnya adalah karena aku ingin melihat sekitar pondok yang belum pernah aku kunjungi.

"Pondok ini juga nerima cewek?" tanyaku di sela-sela perjalanan.

"Kalau khusus di sini, enggak, Kak. Di sini kan cowok semua. Kalau cabangnya, ya nerima," jelasnya.

"Emang ada cabangnya?"

"Ada. Sekitar 10 kilo dari sini."

"Oh."

"Kenapa, Kak?"

"Ya, nanya aja," kataku mengikutinya memasuki sebuah kantin.

Secara otomatis, pandanganku langsung mengarah ke segala arah. Melihat setiap sudutnya. Sementara Firman memesan makanan.

"Assalamualaikum."

Jelas kudengar seseorang mengucap salam, semua yang ada di kantin membalas salam itu, juga aku–tanpa memperhatikan siapa yang datang. Kemungkinan salah satu santri yang mondok di sini.

"Eh, Ustaz."

Itu suara Firman, sepertinya ia mengenal orang itu. Tapi aku tak menghiraukan.

"Makanannya banyak banget, Akh?"

"Keluarga dari kampung lagi berkunjung, Taz."

"Kenapa gak makan di kantin saja, Akh?"

"Mereka penginnya di asrama saja, Taz."

"Oh, iya."

Percakapan yang berhasil aku dengar di antara mereka berdua.

"Ayo, Kak!"

"Eh!" Aku tersadar, rupanya Firman telah selesai membeli makanan.

"Mari, Ustaz. Assalamualaikum." Firman pamit pada lelaki itu.

"Waalaikumussalam," ucapnya penuh wibawa.

Aku langsung menyusul Firman yang sudah berjalan keluar, "Itu tadi siapa?" tanyaku sembari mengambil kantong plastik yang dijinjingnya.

"Senior aku sekaligus anak dari pembina pondok ini," jelasnya.

"Masih muda, ya? Kirain udah tua."

"Dia yang bungsu, kakaknya ada 3. Mereka semua studi di luar negeri, yang sulung di—"

Penjelasan Firman terputus begitu melihat sebuah mobil baru terparkir di lapangan.

"Kakak duluan aja ke asrama, sepertinya keponakan Pak Kyai telah tiba," ucapnya sembari melangkah menuju mobil tersebut.

Dasar aku! Bukannya menuruti perkataan adikku, aku malah memperhatikannya. Melihat bagaimana ia membantu membawa bawaan keponakan Pak Kyai, tunduknya ia. Ternyata ia benar-benar banyak berubah selama tinggal di sini. Ah! Adikku Firman, kau begitu sopan saat bertemu dengan seniormu di pondok, tapi begitu menyebalkan saat bertemu dengan diriku—kakak kandungmu sendiri, Dik.

Dan—

Hei! Sepertinya aku mengenal sosok yang keluar dari mobil, dan kini berjalan beriringan dengan adikku.

Dia?!

Dia kembali, Tuhan.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang