"Kamu suka bintang?"
Entah obat apa atau makanan apa yang dikonsumsi Beri pagi tadi, tiba-tiba bertanya perihal bintang. Bersemangat membahas perihal benda-benda luar angkasa.
"Kenapa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari buku yang kubaca.
"Tanya aja, aku pengin deh liat bintang lebih jelas."
"Pake teropong!"
"Nah, ide bagus. Tapi siapa yang punya teropong ya?"
"Mana aku tahu, Ber." Aku memfokuskan pandanganku, berusaha menuntaskan salah satu cerita pada buku yang kubeli beberapa hari yang lalu. Namun, suara Beri benar-benar menggangguku.
"Anak MIPA punya gak, ya?"
"Kemungkinan iya, kemungkinan enggak. Sepertinya yang fokus ke jurusan fisika atau astronomi."
"Astronomi? Hmm, sepertinya Nada dan Maya punya kenalan di kampus sebelah," gumam Beri.
"Sampai segitunya, emang ada apa dengan bintang?"
"Aku cuma penasaran aja, Ra. Mau cari kebiasaan lainlah, bosan ngitung jumlah uang mulu di kelas."
Aku terkekeh, masih mending dia ngitung jumlah uang. Lah aku? Ngitung jumlah kesalahan kaidah penulisan bahasa Indonesia dalam sebuah karya. Ribet yang mana coba?
"Kalau aku nemu teropong, kamu ikutan gak?"
"Mama mana bolehin," jujurku.
"Yaa, payah kamu, Ra."
"Biarin."
Pada akhirnya, aku dipaksa ikut oleh Beri. Dia bela-belain minta izin ke Mama hanya untuk ditemani melihat benda luar angkasa lewat teropong. Mama pun mengizinkan dengan catatan harus pulang di antar kembali oleh Beri dan tidak boleh larut malam. Alhasil, Beri menyanggupinya.
Tibalah hari di mana rencana gila Beri itu menjadi kenyataan. Melihat bintang dengan teropong. Saat ini, ia sudah duduk di kursi empuk beberapa menit yang lalu. Kursi itu bisa berputar dan turun-naik. Kini, di depannya ada sebuah benda bulat panjang. Sebuah cermin bening tampak mengkilap diterpa cahaya lampu ruangan.
Beri mencoba mendekatkan sebelah matanya ke lensa teropong. Ia melihat sebuah benda langit seperti perak berkilau. Ada daerah agak gelap. Ada juga yang lebih terang. Yap. Itu adalah bulan. Bulan yang kumaksud bukan Bulan sepupuku ya, melainkan bulan sungguhan.
"Daerah agak gelap dan terang itu apa?" tanya Beri kepada salah satu mahasiswi Astronomi.
"Daerah agak gelap itu adalah laut bulan. Sedangkan yang agak terang adalah benua bulan. Namun, tentu itu hanya istilah karena di bulan tidak ada lautan, seperti halnya di Planet Bumi. Di permukaan hanya ada daratan tandus, bergunung, dan berkawah," jelasnya.
Beri terkagum-kagum mendengar penjelasan mahasiswi tersebut, ia kemudian memindahkan posisi. Ia menarik pegangan teropong. Melihat benda-benda langit lainnya, disertai penjelasan yang didengar dari mahasiswi jurusan Astronomi.
Bosan memperhatikan Beri dan dua mahasiswi itu, aku memutuskan keluar dari gedung observatorium mencari udara segar. Benar saja, udara di luar lebih menyegarkan dibandingkan di dalam. Aku menghirupnya dalam-dalam, kepalaku menengadah memperhatikan bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Cantik sekali.
"Rasi bintang pari atau crux."
"Sam?"
Aku gak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dan, hei! Entahlah ini kali keberapa aku bertemu dengannya. Semesta benar-benar berbaik hati mempertemukan aku dengannya.
"Hai, Ra! Sepertinya Semesta mengabulkan doa kita malam itu, lihatlah kita berjumpa lagi bukan?"
"Sepertinya memang begitu, Sam," ucapku kembali menatap langit.
"Rasi bintang pari atau crux biasa digunakan sebagai petunjuk arah pada malam hari loh, kalau tiba-tiba kita kehilangan arah," jelasnya.
"Yang mana?" tanyaku.
"Yang berbentuk layang-layang." Tunjuk Sam, aku mengikuti arah tunjuk Sam pada formasi bintang yang berbentuk layang-layang.
"Sebenarnya rasi bintang kayak gini, bukan hanya berbentuk layang-layang, tapi bisa berbentuk pari, atau salib. Dan letaknya agak ke selatan." Ia menambah penjelasannya.
Aku semakin kagum dengan pengetahuan yang ia miliki perihal luar angkasa. Luar angkasa? Waktu ke toko buku sepertinya Sam membeli buku tentang luar angkasa, di perpustakaan kayaknya juga, deh. Jangan-jangan—
"Aku lulusan Astronomi." Lagi Sam menjawab tanpa mendengar pertanyaanku, seakan tahu betul dengan apa yang ingin aku tanyakan.
"Pantasan."
"Hehehe."
"Hmm, tapi sepertinya Semesta sedang melakukan kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Sweter milikmu tidak kubawa, itu artinya perlu ada pertemuan lagi untuk mengembalikannya bukan?" kataku.
"Bukankah itu anugerah? Semesta masih ingin membuat kita bertemu lagi, atau jika pun Semesta tak mengizinkan. Barangkali sweterku memang senang bersamamu, Ra."
Aku tersenyum menanggapi pernyataan Samudra.
Jadi, rencana apa lagi yang Semesta siapkan untukku sekarang? Setelah beberapa kali bertemu secara tak sengaja. Apa mungkin dia memang benar-benar lawan mainku sesungguhnya? Dan kalaupun tidak, bukankah ini tak masuk akal, bertemu dengannya secara tak sengaja. Aku yakin, Semesta sedang menyiapkan rencana lain untukku dan dia. Tapi apa?
♥♥♥

KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Penantian || TERBIT
Fiksi Remaja[AWAS!! CERITA INI MENGANDUNG KENYESEKAN, HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!] Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tanpa kepastian? Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tak jua datang? Namaku Kejora. Gadis yang bodoh, sebab menanti sosok yang ta...