Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur setelah meletakkan dokumen di atas meja. Berusaha untuk memejamkan mata. Namun tetap saja tak bisa. Pikiranku langsung mumet begitu sampai rumah Magrib tadi.
"Kenapa, Ra?" tanya Bulan yang ikut naik di kasur berbaring bersamaku.
Siang tadi, Bulan sudah tiba di rumah. Katanya ia kangen sama aku, jadi malam ini ia memutuskan untuk bermalam hingga beberapa pekan ke depan. Sehubung jatah liburnya masih ada, sebelum ia kembali bekerja. Tentu saja aku senang, terlebih lagi kemarin aku berencana ke tempatnya. Hanya saja pertemuan dengan Beri yang batal itu membuatku urung bertemu dengan Bulan.
Bulan adalah sepupu jauhku, meski jauh tapi aku akrab dengannya. Kami terpaut tiga tahun, yang mana Bulan lebih tua daripada aku. Syukurlah Bulan datang hari ini, setidaknya aku mempunyai tempat untuk mencurahkan isi hatiku.
"Biasa, Lan," desahku. "Mama pengen aku taaruf."
"Hah? Lagi?"
Aku mengangguk, memang selama ini tiap ada seseorang yang ingin Mama kenalkan padaku pasti diketahui olehnya sebab aku selalu cerita dengannya.
"Sama siapa emang?"
"Kak Hafiz."
"Hafiz putra Pak Sultan?" Bulan bangkit dari pembaringan menatapku. Ya, dia mengenal Kak Hafiz secara mereka pernah satu sekolah dan malah sekelas saat SMA. Wajar, bila Bulan tahu siapa Kak Hafiz.
Aku mengangkat bahu, mataku menunjuk ke atas meja. Tanpa minta penjelasan lagi, Bulan langsung mengerti, segera ia meraih dan membuka dokumen yang aku letakkan tadi. Dokumen berisikan biodata Kak Hafiz. Bulan serius membacanya, aku tak menghiraukannya. Aku sibuk dengan handphone-ku.
"Gila, Ra. Udah hafal tiga puluh juz ternyata," kagum Bulan. "Lulusan Kairo, Ra," tambahnya.
Aku yang sibuk dengan handphone-ku, bangun. Duduk di hadapan Bulan. "Terus?"
"Ya, sayang aja, Ra. Kalau kamu lepasin mutiara yang udah ada digenggaman," tanggap Bulan.
"Iya, Lan. Kamu benar, dia seperti mutiara dalam genggaman. Ada banyak yang mengharapkannya. Tapi aku gak bisa, Lan. Aku gak cinta sama dia."
"Cinta kan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Ra."
"Aku gak bisa." Kembali menghempaskan tubuhku.
Pandanganku menatap langit-langit kamar yang sengaja dicat biru muda, perlahan bulir-bulir air menghalangi pandanganku. Bulan meletakkan kembali dokumen yang baru saja ia baca, kemudian berbaring di sampingku. Jelas kudengar helaan napas Bulan.
"Aku ngerti kok, Ra."
Aku diam, berusaha menahan isakan.
"Sama seperti empat tahun lalu, tiga tahun lalu, dua tahun lalu, tahun lalu, dan tahun ini, bukan?"
Lagi, aku diam.
"Kau masih bertahan?"
Hening, tidak ada suara dariku.
"Masih mengharapkannya?"
Aku menutup mataku, mencoba menjernihkan pikiranku. Pertanyaan Bulan berhasil menusuk hatiku.
"Kamu percaya sama dia?"
Mau tak mau aku beralih menatap Bulan. Binar matanya menggambarkan kecemasan atas diriku. Dengan cepat aku menghapus bulir air itu.
"Aku selalu percaya, Lan. Semesta akan mempertemukan aku dengannya."
"Lakukan apa yang ada di hati, Ra. Meski semua orang tak percaya akan kesungguhkanmu, percayalah keyakinan akan mengalahkan segalanya." Bulan tersenyum menggenggam tanganku. Aku semakin mempererat genggamanku. Dadaku bergetar hebat.
Andai kamu tahu, Bulan. Kalau bukan karena keyakinan, aku gak mungkin bisa bertahan selama ini. karena sejujurnya aku ragu dengan apa yang aku ucapkan barusan? Perihal percaya? Perihal Semesta yang akan berbaik hati mempertemukan aku dengan dia? Aku ragu. Apa mungkin ia akan datang? Apa mungkin ia tahu perasaanku?
Apa yang diharapkan seorang wanita? ialah sebuah janji masa depan dari seorang pemuda bukan? Apa yang ditakutkan seorang wanita? ialah saat pemuda impiannya melanggar janji itu sendiri, atau harapannya tak sesuai dengan apa yang selama ini ia bayangkan, atau mungkin penantian yang selama ini ia lakukan berakhir dengan kesia-siaan.
Kembali aku menatap langit-langit kamar. Kali ini tanganku bergerak-gerak di udara, menulis sebuah inisial. Anganku kembali pada masa empat tahun lalu, masa di mana aku pertama kali mengenalnya, pertama kali perasaan ini muncul, pertama kali aku mengambil risiko yang sangat besar. Mencintainya diam-diam dan menantinya tanpa batas penghabisan. Meski pada kenyataannya ia benar-benar tak tahu perasaanku, tak tahu apakah benar ia akan datang kemari menemuiku atau malah kini ia mempunyai pulangnya sendiri. Aku tak tahu dan aku tidak peduli. Aku sudah siap menerima segala konsekuensinya.
Di luar sana, sayup-sayup terdengar suara burung hantu juga jangkrik bernyanyi tanpa henti. Aku beralih menatap Bulan, ia sudah tidur ternyata. Sebegitu kalutkah aku karena dia, hingga tak sadar jika sepupuku sendiri kini telah nyenyak bersama mimpi indahnya.
Aku beranjak menutup jendela, jauh di ujung sana cahaya berkelap-kelip menyihir penglihatanku, sapuan angin menyentuh diriku dengan lembut. Seketika aku teringat dengan perkataan Samudra sore tadi. Setiap orang punya definisi berbeda tergantung bagaimana pemahaman mereka dan pengalaman yang mereka alami.
Hai, Angin! Boleh kutitip sesuatu? Tolong titipkan pesan rinduku pada sang Musafir di seberang pulau sana. Katakan padanya aku sedang merindu. Tak apa jika ia tak membalasnya, karena sesungguhnya rinduku tak butuh balasan. Kini aku telah menemukan definisi rinduku sendiri.
Tak sadar aku melukiskan sebuah garis lengkung terbalik pada bibirku. Segera kututup jendela lantas kembali ke tempat tidur. Selintas kulihat jam di atas pintu kamarku.
11.34 WITA.
Ah! Malam benar-benar telah matang. Pantas saja suasananya mencekam dan dinginnya menembus tulang-tulang. Baiklah, saatnya mengistirahatkan raga yang teramat lelah. Esok hari entah kejutan apa yang disiapkan Semesta untukku. Semoga tenaga yang kupulihkan mampu menghadapinya.
Selamat tidur!
Selamat mengistirahatkan hati yang lelah menanti!
♥♥♥

KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Penantian || TERBIT
Teen Fiction[AWAS!! CERITA INI MENGANDUNG KENYESEKAN, HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!] Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tanpa kepastian? Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tak jua datang? Namaku Kejora. Gadis yang bodoh, sebab menanti sosok yang ta...