Dua Puluh Sembilan

72 12 0
                                    

"Kuncinya cuma satu, menulis, menulis, dan menulis." Aku menutup materi yang aku bawakan. Seketika tepuk tangan bergemuruh memenuhi aula. Ada rasa bahagia yang menjalar pada diriku, tak menyangka bahwa kini aku menjadi narasumber di kampusku sendiri.

Sebelum masuk ke sesi tanya-jawab, masih ada materi yang akan dibawakan langsung oleh Kak Sri Wahyuni—salah satu alumni kampus Uniprima yang telah menyelesaikan doktornya. Beliau sastrawan besar, satu-satunya yang berasal dari kampusku. Aku berharap semoga aku bisa mengikuti jejak beliau.

"Seperti kata Pramoedya Ananta Toer 'kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai' ...."

Aku mengangguk mendengar perkataan beliau, setuju dengan yang baru saja ia ucapkan. Bertambah kagumlah aku padanya. Aku mengedarkan pandanganku ke peserta seminar. Meski tak sebanyak di Pare-pare, namun aku bersyukur sebab pesertanya dua kali lipat dibandingkan semasa aku kuliah dulu.

Ingatanku kembali di masa kuliah dulu, tentang Beri, Maya dan Nada, serta RL. Apa kabar Rumah Literasi? Terakhir kami ke sana saat aku semester 6. Semester 7 tidak lagi, sebab sedang sibuk-sibuknya menyusun proposal penelitian, PPL, dan lain sebagainya.

Setelah Kak Sri Wahyuni memberikan materi, kini saatnya sesi tanya-jawab. Ada beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan, dan pertanyaannya mirip-mirip berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Aku bergantian menjawab dengan Kak Sri Wahyuni, hingga waktu istirahat tiba.

"Dengar-dengar, saat kini Kakak sedang menulis buku ke-30 ya?" tanyaku pada beliau saat istirahat.

"Aduh, Kakak jadi malu sebenarnya."

"Tapi benar kan?"

"Insyaallah, doakan semoga lancar."

"Amin. Jujur ya, Kak. Aku kayak mimpi bisa duduk bareng dengan Kakak. Dulu-dulunya cuma bisa dengar namanya disebut-sebut, atau paling gak karyanya yang dibaca."

"Oh ya?"

"Iya, Kak. Dari beberapa karya Kakak yang sempat aku baca, aku paling suka yang Definisi Patah Hati. Buku perdana Kakak itu."

"Alhamdulillah. Ya, benar. Dari beberapa pembaca, mereka lebih suka yang Defini Patah Hati. Hmm, kemungkinan karena buku itu bersentuhan langsung hidup kita yang memang sering terjadi atau karena saya yang nulisnya berperasaan."

Ada banyak hal baru yang kudapat setelah berbincang dengan beliau, tentang kepenulisan, komunitas sastra yang saat ini ia bina, dan pengalaman beliau dapat undangan kepenulisan ke sana-ke mari. Dan suatu penghormatan karena beliau mengajakku berkolaborasi dalam menulis sebuah buku. Argh! Seperti mimpi rasanya.

Kami berjalan bersisian keluar dari aula menuju parkiran, beliau telah ditunggu oleh sopir pribadinya siap meluncur ke luar kota menghadiri seminar kepenulisan yang diadakan oleh salah satu kampus ternama di Indonesia.

Aku melabaikan tangan begitu mobilnya melaju, keluar dari area kampus. Pun denganku, segera masuk ke dalam mobil—kembali ke rumah mengistirahatkan jiwa yang lelah.

"Tunggu, Ra!"

Seketika gerakanku untuk masuk ke dalam mobil terhenti, seseorang telah memanggilku. Aku membalikkan badan ke belakang, dari jarak beberapa meter tampak seseorang berjalan setengah berlari ke arahku. Ia mengirim senyum untukku, aku membalas senyumnya.

"Hai, Ra!"

"Hai juga ..., eh, Sam," balasku menunduk.

"Kamu tidak berubah ya, masih tetap seperti dulu. Anggun."

"Oh ya?" Pandanganku terangkat memandangnya.

Dia mengangkat kedua bahunya. "Semesta kembali memainkan skenarionya, Ra. Lihatlah, Ia kembali mempertemukan kita setelah tiga tahun tak pernah bertemu. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat, Sam."

"Baik, dan tentunya bahagia sebab kini kau telah menjadi penulis terkenal, bukan?"

Aku terkekeh mendengar jawaban Sam. Entah kenapa orang-orang selalu beranggapan seperti itu, baik dan bahagia. Bagaimana pun perihal keadaan, hanya diri kitalah yang tahu keadaan kita yang sebenarnya.

"Kamu ke sini ada perlu apa, Sam? Bukankah kau alumni kampus sebelah? Dan kenapa baru terlihat sekarang?" Kali ini aku memborongnya dengan pertanyaan.

Sama sepertiku, ia pun tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang memborongnya.

"Sepertinya pertanyaanmu banyak sekali, Ra. Aku tak bisa menjawabnya sekali pun. Bagaimana kalau kita bertemu di perpustakaan daerah? Tempat pertama kali kita bertemu?"

Aku mengangguk mengiyakannya. Tak ada masalah. Lagi pula sudah lama aku tak ke sana.

"Baiklah, kalau begitu boleh kau menanda tangani buku ini?" Ia menyodorkanku sebuah buku dan pena.

Seketika aku terkejut dibuatnya, "Hei! Kau juga membeli buku ini?" tanyaku.

"Tentu saja, Ra. Mendengar kabar bahwa kau telah meluncurkan buku perdanamu, seketika itu pula aku menyuruh adikku yang ada di Indonesia untuk segera membelinya sebab saat itu aku masih ada di London lanjut S3," jelasnya.

"Wow. Benar-benar butuh perjuangan," kagumku. "Baiklah, khusus dirimu aku akan menandatangani sekaligus menuliskan sebuah quotes spesial," kataku sembari menanda tangani buku perdanaku serta menulis sebuah quotes menarik untuknya.

"Terima kasih, Ra," ucapnya meraih buku dan pena miliknya.

"Sama-sama."

"Sampai jumpa di perpustakaan daerah besok siang."

"Iya."

Dan lagi. Semesta kembali memainkan skenario-Nya, aku dipertemukan dengan Sam sama seperti tiga tahun lalu. Entah rencana apa lagi yang Ia siapkan untukku, kuharap ini bukan perihal luka dan kecewa seperti yang telah berlalu.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang