Aku menghapus air mataku yang terus mengalir. Sungguh, kembali mengingatnya selalu membuat dadaku sesak. Meski telah berlalu tiga tahun lamanya, kisahnya masih melekat dalam ingatan, sangat jelas. Rasanya baru saja kemarin aku mengalaminya.
Aku mengatur tiap deru napasku, mencoba menetralkan perasaanku, serta suaraku yang terdengar sesegukan.
"Sudah selesai?" Sontak aku berbalik mendengar suara yang tak asing bagiku serta tepukan pada bahuku.
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban, kulihat ia tersenyum dan duduk di sampingku.
"Kalau mau menangis, menangislah. Aku akan menemanimu malam ini agar orang-orang tidak mengira kau penunggu telaga," candanya.
Seketika aku memukul lengannya, ia pura-pura meringis kesakitan lalu disertai dengan tawa. Aku tak menangggapinya, aku memilih menyandarkan kepalaku pada bahunya, "Oh ternyata butuh sandaran juga, syukurlah aku datang."
Aku diam. Masih sibuk menenangkan pikiran dan perasaanku.
"Jangan nangis lagi, aku akan semakin marasa bersalah bila melihat wanitaku menangis terlebih di hadapanku." Ia mengusap puncak kepalaku.
"Gak nangis kok." Kedua tanganku berusaha menghapus jejak-jejak air mata yang ada di pipiku.
"Terus yang ini apa? Hm?" Ia beralih menatapku, tangannya ikut menghapusnya di pipiku.
"Hmm, air?" jawabku sekenanya.
"Dasar kamu ya," ia menoel hidungku lalu mengusap-usap kepalaku membuat jilbabku semakin berantakan.
"Jangan diusap-usap, nanti jilbab Ra berantakan."
"Iya-iya, udah enggak kok." Ia beralih merengkuhku.
Aku membalas rengkuhannya.
Kedua pandangan kami mengarah pada bintang yang berkelap-kelip di angkasa sana. Terlihat indah, terlebih purnama bersinar menambah kesan malam ini.
"Ra?"
"Iya?"
"Masih percaya dengan Semesta?"
"Eh?"
"Penantian yang disertai keyakinan dan kesabaran gak akan pernah sia-sia. Jadi, jangan merasa bahwa apa yang selama ini kamu jalani adalah kesia-siaan hanya karena hasil dari yang apa yang kamu perjuangin itu tak sesuai espektasi. Terkadang yang menurut kita baik belum tentu baik menurut-Nya, begitu pun sebaliknya. Apa yang kita anggap buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."
"Iya, Ra ngerti kok." Aku menatap bola matanya. Bola mata yang juga melakukan hal yang sama denganku. Tatapan kami bertemu.
"Kau tak menyesal kan pernah melakukan penantian itu?" Lagi, pertanyaan itu kembali ia ucapkan setelah puluhan purnama bersamanya tanpa lelah.
"Enggak, enggak sama sekali. Seperti yang Kakak ucapkan, bahwa tidak ada yang sia-sia dengan penantian yang Ra jalani selama ini. Ra yakin, pilihan Semesta adalah yang terbaik. Dan pilihan itu jatuh kepada Kakak."
Ia tersenyum mendengar jawabanku.
"Terima kasih ya, sudah menerima Kakak lagi." Ia memelukku lagi.
"Ra yang harusnya berterima kasih kepada Kakak. Terima kasih sudah memilih Ra menjadi bidadari Kakak, terima kasih sudah kembali lagi sama Ra bahkan setelah puluhan purnama kita gak ketemu." Aku membalas pelukannya.
"Itu karena Kakak percaya bahwa Adik adalah jodoh Kakak."
"Apakah Kakak akan selalu bersama Ra?" Kepalaku mendongak melihat wajahnya, deru napasnya jelas terasa.
"Insyaallah. Selalu, Ra. Selama Tuhan masih meminjamkan napas kepada Kakak, selama kita masih menatap langit yang sama, selama yang Ra inginkan."
Aku tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih, Kak."
"Iya, Sayang."
Aku semakin mempererat pelukanku, ia pun demikian. Tangisku telah reda. Air mataku telah sirna. Tersisa senyum terpancar serta pipi merona karena kalimat yang baru saja dia bisikkan di telinga kananku.
"Ana uhibbuki fillah."
--selesai--

KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Penantian || TERBIT
Teen Fiction[AWAS!! CERITA INI MENGANDUNG KENYESEKAN, HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!] Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tanpa kepastian? Apalah arti penantian, bila yang ditunggu tak jua datang? Namaku Kejora. Gadis yang bodoh, sebab menanti sosok yang ta...