Tiga Puluh Tiga

86 16 0
                                    

Setibanya aku dari acara seminar, aku langsung dikagetkan oleh kedatangan Bulan yang tiba-tiba di rumah. Terlebih lagi ia sedang hamil muda.

"Ra, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, penting!" ucapnya.

Aku kaget, Bulan tak seperti biasanya. Apa ada masalah?

Dia menarikku masuk ke dalam kamarku, dan menyuruhku duduk di atas kasur sementara ia duduk pada kursi yang ada di depanku. Aku menatapnya dengan heran, ia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Kemungkinan hal yang disampaikan Bulan kali ini sangat serius.

"Aku sudah baca pesan kamu, Ra," katanya memulai bercerita.

Aku diam, masih menunggu lanjutan cerita Bulan.

"Jujur aku senang banget mendengarnya, Ra. Terlebih lagi itu adalah penantianmu selama tujuh tahun ini. Adakah yang lebih bahagia dari penantian yang terurai? Aku senang banget, Ra."

Aku masih mendengarnya, belum menanggapi dan belum tahu arah pembicaraan Bulan.

"Namun, ada satu hal yang harus aku katakan padamu, Ra. Jujur aku gak mengenal dia secara baik, gak pernah liat dia langsung. Hanya kamu, Ra. Cuma kamu yang bisa mengenalnya dengan baik. Karena cuma kamu yang dekat dengan dia, bukan aku dan lainnya. Aku hanya menjadi pendengar baikmu, Ra. Yang selalu setia mendengar setiap cerita-ceritamu mengenai dia, sejak pertama kali kamu kenal dia.

Sebagai sepupu sekaligus sahabat yang peduli denganmu, aku hanya ingin memperlihatkan ini. Aku gak tahu apakah ini fakta atau hoax, namun aku menemukannya siang tadi di media sosialmu, dengan akun lain yang menandai akunnya. Ya, sama seperti tiga tahun yang lalu menyuruhku untuk berbaik sangka. Namun, kali ini beda, Ra. Sebab, ini bukan lagi tulisan seperti dulu melainkan dengan foto.

Aku gak tahu apakah foto itu dia atau bukan. Kau yang mengenalnya, Ra. Jadi, silakan kau lihat foto yang ada di gawai ini." Bulan bercerita panjang lebar.

Aku meraih gawai Bulan yang disodorkan padaku, memperhatikan baik-baik foto yang ter-upload di media sosial menandai akunnya. Berbagai hal kulakukan pada foto itu, perbesar-perkecil, menggeser ke foto selanjutnya. Namu tetap saja, sama. Ya foto itu ternyata dia.

Ya, dia.

Dia yang sedang mengenakan baju adat pernikahan bersama seorang perempuan tersenyum manis ke arah kamera disertai beberapa tamu undangan yang berdiri di samping kanan dan kiri pengantin.

Aku menutup mulutku berusaha tak mengeluarkan suara, takut-takut kalau Mama ke mari dan menanyakan perihal diriku.

Bulan berpindah tempat, merengkuhku dan menepuk-nepuk bahuku. Seakan tahu apa yang aku rasakan saat ini.

"Kamu yang sabar, ya Ra." Satu kalimat yang keluar dari bibir Bulan atas hal yang menimpaku sekarang.

Sungguh, rasanya sakit sekali.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang