Sembilan

350 31 0
                                    

Tepukan bergemuruh memenuhi rumah-rumahan kami seusai aku bercerita, aku tersenyum menanggapi tepukan mereka. Ada rasa bangga dalam diriku melihat wajah ceria mereka, terlebih lagi saat mendengar aku bercerita, mereka amat menikmatinya.

"Keren, Ra." Tiba-tiba Maya sudah berdiri di dekatku.

"May?!"

"Maaf ya teman-teman, aku terlambat," ucap Maya sesal kepada kami.

"Santai aja, May. Kami ngerti kok," ujar Nada yang duduk di atas meja sudut ruangan. Beri membenarkan ucapan Nada dengan mengangguk, tidak masalah dengan keterlambatan Maya.

"Jadi sekarang kita ngapain?" tanya Maya.

"Hmm, kita istirahatin aja mereka. Lagian udah mau Zuhur juga, nanti sudah Zuhur kita lanjut lagi ngajarin mereka membaca."

Kami semua pun menyetujui usulan Beri. Tak lama kemudian, kumandang azan terdengar. Segera aku bergegas ke masjid menunaikan panggilan-Nya ditemani Nada, sementara Beri yang belum bisa salat tinggal di Rumah Literasi menemani Maya.

Nikmat apa lagi yang kamu dustakan? Saat memenuhi panggilan-Nya yang justru membuat hatimu tenang? Tak pernah aku merasakan salat yang begitu nikmat seperti saat ini, lantunan ayat suci yang terdengar seakan mengetuk pintu hati bagi siapapun yang mendengarnya. Menenangkan, menjadi syahdu bermunajat kepada-Nya.

Dreett! Dreettt! Gawaiku bergetar. Setelah melipat mukenah, aku mengangkat panggilan tersebut.

"Halo!"

"Assalamualaikum, Ra."

"Waalaikumussalam, Ma," jawabku.

"Kegiatan Ra masih ada?"

"Masih, Ma."

"Bisa ditinggal, Ra? Soalnya orang tua Hafiz ada di rumah."

Deg!

Detakan itu jelas terasa. Berpacu dengan cepat tak seperti biasanya. Orang tua Kak Hafiz ada di rumah?

"Ra?"

"Eh, iya, Ma. Ra segera pulang," ucapku.

"Ya sudah. Hati-hati, Sayang. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Sambungan terputus.

"Nad, aku pulang duluan," ucapku pada Nada.

"Eh, pulang ke rumah maksudnya?" Nada mengerutkan dahinya.

"Iya, barusan aku dapat telepon dari Mama. Disuruh pulang katanya," jelasku.

"Hmm, iya deh."

"Bilangin sama teman-teman di RL, ya. Assalamualaikum." Aku bergegas keluar dari masjid menuju jalan besar menunggu angkutan yang bisa membawaku pulang ke rumah.

Kedatangan orang tua Kak Hafiz sebenarnya masih tanda tanya bagiku. Apa mungkin secepat ini? Terlebih lagi proses taarufku dengan Kak Hafiz masih terbilang beberapa hari yang lalu. Apa Hafiz sudah yakin? Bagaimana mungkin? Sedang aku?

Huftt!

Aku berhenti tepat di pinggir jalan raya, mencoba mengatur napasku yang tak beraturan akibat berlari. Satu dua kendaraan berlalu di hadapanku tanpa berniat untuk berhenti. Aku mengusap peluh yang membasahi dahiku, sebelum memberhentikan sebuah angkutan umum yang mendekat ke arahku.

♥♥♥

Sesampai di rumah, aku melangkah masuk seraya mengucapkan salam. Kulihat Mama sedang duduk di sofa sendirian(?).

"Waalaikumussalam," jawab Mama menghampiriku. "Ra, kenapa baru sampai?"

"Angkutannya telat datang, Ma, jadinya Ra lambat pulang," ucapku begitu punggung tangan Mama sudah kucium.

"Baru saja orang tua Hafiz pulang, Nak."

"Eh? Udah pulang, Ma?"

"Iya, mereka cuma mampir sebentar habis dari acara keluarga katanya. Tadinya mereka mau ketemu sama Ra, tapi karena Ra telat pulang jadinya mereka pulang," jelas Mama tanpa kuminta.

"Kak Hafiz juga datang?"

"Tidak, cuma mereka berdua saja."

Huft! Hampir saja aku ketemu dengan dia. Jujur aku belum siap untuk bertemu dengannya. Terlebih jika harus membahas kelanjutan dari proses taaruf ini.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang